Oleh: Ario Helmy
Tepat 58 tahun silam, lewat tengah malam Jumat, 31 Juli 1953, Kabinet Ali Sastroamijoyo I akhirnya terbentuk setelah melewati 58 hari penuh perundingan alot antar partai besar negeri ini. Untuk pertama kalinya NU mendapat hingga 3 kursi dengan Zainul Arifin menduduki kursi Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II. Tokoh politisi NU yang pernah menjabat Panglima Laskar Hizbullah, Sekertaris Pucuk Pimpinan TNI serta Ketua Seksi Hankam BP KNIP inipun menjadi orang pertama NU berposisi tertinggi di lembaga eksekutif. Selama masa tugasnya dalam kabinet, kegiatan-kegiatan Zainul Arifin diwarnai dengan timbulnya masalah-masalah keamanan baik yang ditimbulkan oleh DI/TII maupun urusan internal TNI, pelaksanaan Konferensi Asia Afrika di Bandung, dan persiapan penyelenggaraan pemilu yang pertama.
Kabinet Tanpa Masyumi
Begitu Kabinet Wilopo bubar, Masyumi langsung mendesak pembentukan kabinet presidentil di bawah wapres Hatta. PNI menolak sekaligus mencurigai kabinet demikian hanya bakal menguntungkan Masyumi dan PSI, dua partai sangat dekat dengan wapres.Presiden Sukarno sendiri menentang karena UUD 1950 tidak mengenal kabinet presidentil. Dia kemudian menunjuk formatur sampai lima kali: Mohammad Roem (Masyumi) & Sarmidi Mangunsarkoro (PNI), kemudian Mukarto Notowidigdo (PNI) hingga dua kali diberi kesempatan, serta Burhanuddin Harahap (Masyumi). Semuanya gagal berkoalisi membentuk pemerintahan baru. Akhirnya, keinginan membangun koalisi kuat antara dua partai terbesar itupun ditinggalkan. Setelah formatur diserahkan ke Wongsonegoro dari partai kecil PIR di luar dugaan banyak orang, malah tercapai kesepakatan antara PNI, PIR dan NU. Maka, kabinet Ali I pun lahirlah setelah negara dalam keadaan krisis pemerintahan selama hampir dua bulan. Partai Masyumi yang tidak terwakili dalam kabinet baru, menjadi oposisi di parlemen. Selama berlangsungnya kabinet ini, NU tertantang untuk membuktikan kemampuannya ikut serta dalam menjalankan roda pemerintahan. Nyatanya, kabinet berhasil bertahan hingga dua tahun dan menjadi kabinet terlama selama era Demokrasi Parlementer (1950-1959).
Menjawab Tantangan
Zainul Arifin salah satu pencetus perpisahan NU dari Partai Masyumi dan mendirikan partai tersendiri pada 1 Mei 1952, karena Masyumi terus menerus melecehkan para ulama tradisionalis NU. Otomatis kinerjanya dalam kabinet menjadi sorotan, terlebih lagi karena NU telah kehilangan politisi unggulan lainnya, Wahid Hasyim pada 19 April 1953. Zainul sendiri yang memang belum pernah menjadi menteri sebelumnya beberapa kali dipertanyakan kemampuannya. Misalnya ketika dia meminta Perdana Menteri untuk melimpahkan kewenangan masalah keamanan terkait gerakan-gerakan subversif DI/TII, Ali Sastroamijoyo tidak memenuhinya. Padahal, Iwa Kusumasumantri yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan beraliran kiri seringkali mengambil tindakan tidak persuasif dalam menghadapi para pemberontak. Sebagai mantan Panglima Hizbullah yang mengenal pimpinan DI/TII Arifin menginginkan tindakan yang lebih persuasif. Lagipula intimidasi yang dilancarkan Menhan berdampak pula terhadap warga NU yang tidak ikut memberontak sama sekali.
Bersama Menteri Agama Masykur yang juga dari NU, Zainul Arifin kemudian mencanangkan pemberian gelar walhiyul amri dlaruri bis syaukah terhadap Presiden Sukarno sebagai pemimpin yang sah untuk dipatuhi masyarakat Islam. Yang timbul malah tuduhan NU bersikap "mencari muka" terhadap Sukarno. Namun Zainul dengan tegas menyatakan, "Presiden, pemerintah, dan parlemen adalah walhiyul amri dlaruri bis syaukah yang otoritasnya harus dipatuhi. Bagi yang memberontak hukumnya sudah jelas." Menanggapi pernyataan tersebut ulama Sulawesi Selatan, misalnya kemudian mencabut dukungannya terhadap DI sebagai "pemerintah sah".
Krisis lainnya terjadi pada 25 November 1954, manakala kabinet harus melakukan reshuffle karena keluarnya menteri-menteri PIR sebagai dampak perselisihan internal partai. Zainul Arifin kemudian menjadi satu-satunya perdana menteri hingga kabinetpun dinamai Kabinet Ali-Arifin. Namun, kewenangan mengurusi masalah keamanan tak kunjung dilimpahkan kepadanya. Kabinet memang langsung sibuk melaksanakan Konferensi Asia Afika di Bandung. Lagi-lagi konferensi antar negara-negara baru merdeka dan masih terjajah dari kedua benua ini dikritisi dengan diplesetkan menjadi "Konferensi Asal-Asalan". Padahal banyak negara Afrika yang berhasil mencapai kemerdekaannya karena termotivasi oleh Dasa Sila Bandung.
Pemilu pertama, yang sejak 1946 ingin dilaksanakan namun baru terlaksana selama pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap, sudah dimatangkan persiapannya sejak era Kabinet Ali-Arifin. Sebuah insiden terjadi ketika PBNU menyurati menteri-menteri dalam kabinet untuk menyikapi PKI yang slogan partainya dirasa menyesatkan. Setelah dikonfrontir, akhirnya PKI bersedia mencabut slogan partainya itu. Dalam periode kabinet ini pula Arifin ikut dalam rombongan Presiden melakukan muhibah kenegaraan sekaligus melaksanakan ibadah Haji ke Tanah Suci. Sebelum berangkat, ditengah-tengah kisruh di kalangan militer, Perdana Menteri akhirnya melimpahkan kewenangan sebagai menhan ad interim kepada Zainul Arifin setelah akhirnya Iwa K. mengundurkan diri pada 12 Juli 1955 atas desakan mosi tidak percaya yang diusung Ketua Seksi Keamanan parlemen, Zainul Baharuddin. Namun, dua hari setelah rombongan Presiden berangkat Kabinet Ali-Arifin membubarkan diri.
(Dari Berbagai Sumber)