Menyongsong Haul KH Zainul Arifin ke 58 (2Maret 2021)
Oleh Ario Helmy
"Pernah ada serangan penghinaan terhadap Alquran dan Kanjeng Nabi Muhammad. Artikel yang ditulis Siti Sumandari di majalah Bangun yang menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai ‘pencemburu’, karenanya peraturan perkawinan dalam Islam dimaksudkan hanya untuk membenarkan ‘nafsu nabi’. Ini tuduhan jahat sekali,” ungkap sejarawan NU Choirul Anam kepada Duta.co.id
Cak Anam menambahkan, karena penghinaan itu berlanjut dan seperti dilindungi pemerintah Hindia Belanda, maka federasi organisasi Islam Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) membentuk Komisi Pemberantasan Penghinaan Islam, terdiri dari para tokoh Islam dari berbagai organisasi. Ada Kiai Zainul Arifin (NU) sebagai ketuanya, Syahbudin Latif (PSII), Mr Kasman Singodimejo (MD), Wiwoho (PII), Moh Natsir (Persis). Mereka ini bersatu padu menghadapi penghina Islam hingga tuntas permasalahannya karena seluruh umat Islam merasa tersakiti.
Selain itu, Mansur Surya dalam bukunya Api Sejarah 2: Peran Ulama Dalam Membangun Organisasi Militer Modern, juga mengungkap bagaimana penjajah Belanda dalam upaya "devide et impera" nya berusaha membenturkan kaum priyayi pendukung mereka dengan umat Islam lewat antara lain tulisan-tulisan Dr. Soetomo dan Residen Bandung R.A.A Wiranata Kusumah yang juga menghina kehidupan Rasulullah. Untungnya perpecahan di kalangan umat Islam tidak sampai terjadi, malahan umat semakin bersatu melawan "musuh bersama" yaitu penjajah Belanda.
BERSATU MELAWAN PENJAJAH
Berawal dari pidato KH Hasyim Asy’ari pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin 1936, yang menyerukan agar umat Islam dan khususnya warga NU mengenyampingkan pertikaian, membuang perasaan ta’ashub (fanatik) golongan dan aliran dalam berpendapat, menghilangkan cacian dan celaan sesama umat Islam serta menegakkan persatuan dan kesatuan, disusul dengan undangan NU bagi organisasi-organisasi Islam yang berada di luar mereka agar menghadiri Kongres NU ke-12 di Malang bulan Juni 1937 tekad untuk mendirikan lembaga persatuan Islam semakin menguat. Didirikanlah Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) pada Selasa Wage, 15 Rajab 1356 atau 21 September 1937 atas prakarsa KH Hasyim Asy'ari. Beberapa ormas Islam menyatakan bergabung ke dalam MIAI: NU, Muhammadiyah, Al Irsyad, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Al Khoiriyah, Persyarikatan Ulama Indonesia (PUI), Al Hidayatul Islamiyah, Persatuan Islam (Persis), Partai Islam Indonesia (PII), Partai Arab Indonesia (PAI), Jong Islamiaten Bond, Al Ittihadiyatul Islamiyah dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Pada awalnya MIAI hanya menjadi koordinator untuk berbagai kegiatan, tetapi kemudian berkembang menjadi wadah yang mempersatukan para umat Islam tanah air untuk kompak menghadapi politik Belanda yang memecah belah para ulama dan partai Islam. Pada periode 1939 – 1945 para ulama benar-benar bersatu padu dalam satu majelis.
Saat api persatuan sedang berkobar-kobar, muncul tantangan dari Partai Indonesia Raya (Parindra) lewat dua artikel yang melecehkan Islam dipublikasi majalah Bangun dalam dua edisi, bertanggal 15 Oktober dan 1 November 1937. Artikel-artikel yang ditulis Siti Soemandari itu mendukung rancangan undang-undang perkawinan pemerintah kolonial seraya menghina Rasulullah SAW serta peraturan perkawinan dalam hukum Islam. Ia menulis Nabi Muhammad SAW sebagai orang yang cemburuan dan menganggap banyak bagian dari hukum perkawinan Islam ditujukan untuk membenarkan “nafsu” Nabi. Menurut seorang penulis bernama Wibisono, artikel itu bermaksud melenyapkan keshalihan Nabi dan hendak menyatakan bahwa poligami itu kuno. Belakangan rancangan undang-undang itu dibatalkan karena kerasnya protes umat Islam.
No comments:
Post a Comment