Labbaikallahumma labbaik, labbaika la syarikalaka labbaik, innal hamda wan ni’mata laka wal mula la syarika lak.
Kalau dilihat dari catatan perjalanan haji KH Zainul Arifin dan Presiden Sukarno pada tahun 1955 yang diuraikan oleh Mangil Matowijoyo dalam memoarnya, 'Kesaksian Tentang Bung Karno: 1945 - 1967' itu saya kira itu tata cara haji Tammatu. Bisa ditelusuri bagaimana setelah sambutan formal kenegaraan di Bandara Jeddah rombongan langsung diantar Raja Saud bin Abdulaziz ke Madinah untuk menziarahi makam Rasullah SAW di sana.
Melepas Atribut Kenegaraan
Dari Kairo, Mesir, Presiden Sukarno tiba di Jeddah, Arab Saudi pada 25 Juli 1955, dimana sambutan kenegaraan secara militer dipimpin langsung oleh Raja Saud diselenggarakan lengkap dengan diperdengarkannya lagu kebangsaan kedua negara dan dentuman meriam. Wakil Perdana Menteri (Waperdam) Kabinet Ali-Arifin, KH Zainul Arifin juga disongsong oleh Waperdam Kerajaan Saudi, Pangeran Faisal yang juga adik dari lain ibu Raja Saud.
Usai penerimaan formal, Raja Saud mengantar sendiri rombongan Presiden RI menuju Madinah untuk berziarah ke makam Rasulullah SAW. Mendekati makam dengan berjalan kaki, Raja Saud terkesan demi melihat Sukarno melepas seluruh atribut kenegaraan dari jas kepresidenannya saat makam Rasulullah SAW sudah terlihat.
Terjadi dialog antara Raja dan Presiden, "Mengapa Anda melakukan itu Tuan Presiden?"
Sigap Presiden RI menjawab, "Kita menuju makam Rasul Allah SAW. Tentunya dia lebih tinggi dibandingkan saya dan Anda, Raja!"
Begitu tiba tepat di depan makam Rasulullah, dalam sebuah video dokumenter koleksi Arsip Nasional RI tampak jelas Sukarno menengadahkan kepala dengan linangan air mata. Di sisi kirinya Waperdam Zainul Arifin juga menangis haru. Tepat di belakang keduanya kelihatan Menteri Agama KH Masykur karena sudah sering ke sana sebelumnya. Sedangkan buat Presiden dan Waperdam RI itulah kali pertama (dan ternyata juga yang terakhir kali) keduanya berhadapan dan berdoa langsung di depan makam Utusan Allah Muhammad SAW.
“Lama Bung Karno berdiri mengheningkan cipta, berdoa di samping makam Nabi Muhammad di Madinah itu, sedangkan rombongan yang sangat kecil jumlahnya itu berdiri di belakang, termasuk saya,” tulis Mangil.
"Besoknya, setelah kembali ke Jeddah, rombongan menuju Makkah, kemungkinan besar untuk melakukan Tawaf Qudum atau Tawaf kedatangan. Biasanya dilakukan sebelum berangkat ke Arafah,"
"Kepada keluarga, KH Zainul Arifin menceritakan pengalaman Presiden dan rombongan inti diajak memasuki bangunan Kabah lewat pintu berlapis emas. Di dalamnya dilaksanakan sholat sunnah serupa dengan yang umum dilakukan jamaah biasa di kawasan Hijir Ismail. Usai sholat Raja Saud dan tamu-tamu kenegaraannya mencuci dinding Kabah," kenang Zuraida Fatma salah satu putri Zainul Arifin.
Mangil mencatat setelah itu, kegiatan-kegiatan kenegaraan dilakukan berupa kunjungan formal ke Istana Raja Saud. Presiden Sukarno didampingi oleh KH Zainul Arifin dan KH Masykur melakukan pembicaraan bilateral. Besoknya, giliran Waperdam dan Menag RI mengadakan pembicaraan bilateral di Istana Waperdam Saudi, Pangeran Faisal di Riyadh.
Wukuf di Arafah
Tanggal 29 Juli 1955, tetamu negara dihantar menggunakan mobil khusus untuk Presiden Sukarno berangkat menuju Arafah untuk melakukan wukuf. Kemudian berangkat menuju Muzdalifah senyampang mengumpulkan batu untuk ritual melontar jumrah lalu menuju Mina.
Dari Mina selesai nafar awal mereka berangkat ke Tanaim miqat umrah. Karena setelah tawaf qudum boleh tidak melakukan tawaf ifadah melainkan langsung sai haji. Setelah sai haji selesai, rampung pula ritual ibadah haji.
Selama pelaksanaan ibadah haji, Presiden Sukarno memberi masukan berharga bagi Raja Saud mengenai beberapa fasilitas ritual ibadah. Yuke Ardhiati dalam Bung Karno Sang Arsitek (2005), mengulas Sukarno menyarankan agar jalur sai di Makkah dibagi menjadi dua dan didirikan bangunan dua lantai untuk memuat sebanyak mungkin jamaah melakukan sai.
Sedangkan untuk Padang Arafah, Sukarno mengusulkan agar ditanami pepohonan hijau pohon mindi yang bibitnya didatangkan dari Indonesia. Pemerintah Kerajaan Arab Saudi begitu menghargai sumbang saran Tamu Negara tersebut, Presiden Sukarno, Zainul Arifin dan Kiai Masykur diundang khusus untuk ikut melakukan inagurasi pemugaran Masjid Nabawi di Madinah.
Mobil Chrysler dan Pedang Emas
Menjelang berakhirnya kunjungan kenegaraan rombongan Presiden RI, Raja Saud menyematkan bintang-bintang kehormatan Kerajaan kepada Sukarno dan Zainul Arifin. Sedangkan sebagai cindera mata Presiden Sukarno disila membawa pulang mobil yang dikendarainya selama menjadi Tamu Negara, mobil Chrysler Crown Imperial keluaran mutakhir 1955 mesin bermuatan 5,4 liter Hemihead V8 transmisi 2-speed Power Flite Automatic buatan Detroit, Michigan, AS buah karya desainer Virgil Exner. Mobil jenis ini hanya diproduksi sebanyak 7.840 unit saja untuk seluruh dunia. Kelak mobil yang dijadikan mobil resmi kepresidenan ini, menjadi korban percobaan pembunuhan terhadap Sukarno dalam Peristiwa Cikini 30 November 1957 yang menyebabkan cacat spatbor kiri dan kaca belakangnya.
Kepada Zainul Arifin, Raja menghadiahi Pedang Zambea, pedang simbol Kerajaan Arab Saudi yang terdapat gambarnya pada bendera Kerajaan, persis di bawah kalimat Tauhid.
Pada 2 Agustus 1955, Sukarno dan rombongan menjalankan tawaf wada, lantas kembali ke Jeddah. Esok harinya rombongan kembali ke Tanah Air dan akhirnya 5 Agustus mendarat kembali di Kemayoran.
Penulis: Ario Helmy