Biografi KH Zainul Arifin, "Berdzikir Menyiasati Angin" oleh: Ario Helmy telah diluncurkan pada 25 November 2009 di Flores Ballroom, Hotel Borobudur, Jakarta. Sedangkan Edisi Revisi Biografi KH Zainul Arifin: PANGLIMA SANTRI, IKHLAS MEMBANGUN NEGERI telah diterbitkan oleh Pustaka Compass pada tahun 2015.
Total Pageviews
Friday, January 28, 2022
Friday, January 21, 2022
Wednesday, January 12, 2022
Thursday, January 6, 2022
KH Zainul Arifin Dan Masjid Istiqlal
Ario Helmy
Dari suatu catatan bersumber dari harian pagi berbahasa Belanda untuk masyarakat Belanda yang tinggal di Jakarta, De Niewsgier, terbit dari 1945 hingga 1957 didapat catatan menarik tentang peran Zainul Arifin dalam proyek pembangunan Masjid Istiqlal.
Dari Menteri Agama
Ide awal untuk membangun sebuah mesjid negara dicetus oleh KH Wahid Hasyim selaku menteri agama pada tahun 1950 dengan didukung oleh Anwar Cokroaminoto. Setelah ide tersebut diajukan ke Presiden, Sukarno langsung meyambut baik. Namun ide tidak dapat segera diwujudkan karena situasi negara belum kondusif.
Tak lama setelah Wahid Hasyim meninggal dunia karena mengalami kecelakaan lalu lintas, Zainul Arifin menjadi wakil perdana menteri II dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo. Zainul kemudian melanjutkan upaya merealisasikan ide pembangunan mesjid negara Kiai Wahid. Harian berbahasa Belanda De Niewsgier terbitan 30 November 1953 melaporkan bahwa pada Jumat, 27 November 1953, Zainul Arifin selaku Waperdam didampingi mendagri Prof Hazairin mewakili pemerintah dalam pertemuan guna membentuk sebuah Komite Pembangunan Masjid Besar Jakarta. Pertemuan mengukuhkan Anwar Cokroaminoto sebagai ketua membawahkan anggota-anggota: Syafruddin Prawiranegara, Assaat, dan KH Taufiqrahman. Setelah melaporkan berdirinya komite pembangunan mesjid nasional tersebut ke Presiden Soekarno dan mendapat dukungan Kepala Negara, langkah selanjutnya adalah mengesahkan Komite dalam bentuk badan hukum bertajuk Yayasan Masjid Istiqlal yang disahkan berdasar akte Notaris Eliza Pondaag pada 7 Desember 1954.
Antara Thamrin dan Willhelmina
Sempat terjadi perbedaan pendapat tentang lokasi pembangunan Mesjid, antara saran wapres Bung Hatta di kawasan Bundaran HI di Jalan Husni Thamrin sekarang dengan daerah Taman Willhelmina di seberang Gereja Katedral. Akhirnya usul kedua yang dicetus Presiden Soekarno yang diterima.
Berikutnya, digelar sayembara nasional untuk rancang bangun masjid selama 3 bulan, dari 22 Februari hingga 30 Mei 1955.
Dari 27 sketsa dan maket yang masuk ke Dewan Juri yang di ketuai langsung oleh Presiden Soekarno sendiri, terpilihlah rancangan karya seorang arsitek beragama Kristen, Frederich Silaban, sebagai pemenangnya. Pemenang diumumkan setelah para juri melakukan penilaian selama 3 bulan.
Pada 5 Juli 1955, F. Silaban selaku pemenang sayembara diganjar hadiah medali emas seberat 75 gram dan uang sebesar Rp25 ribu. Sayangnya, proses pembangunan sempat terbengkalai 11 tahun lamanya, seiring dengan bubarnya Kabinet Ali Sastroamijoyo I tak lama sesudah pengumuman pemenang sayembara.
Sempat Mangkrak
Pernah ada upaya merealisasikan proyek pembangunan masjid pada enam tahun sesudahnya, dimana Soekarno melakukan peletakan batu pertama bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi, 24 Agustus 1961.
Saat terjadinya peristiwa G-30 S 1965, proyek kembali mangkrak sampai tahun 1966. Meski kementerian agama berinisiatif melanjutkan impian besar mewujudkan sebuah Masjid Nasional yang membanggakan dengan menetapkan KH Idham Chalid sebagai Koordinator Panitia Nasional Pembangunan Mesjid Istiqlal, tetap diperlukan 17 tahun proses pembangunan hingga akhirnya Mesjid Istiqlal akhirnya diresmikan oleh Presiden Soeharto 22 Februari 1978. Kini masjid yang namanya diambil dari Bahasa Arab bermakna, "Merdeka" ini merupakan mesjid raya terbesar di Asia Tenggara dengan luas 9,3 hektar serta mampu menampung 200 ribu jamaah sekaligus.
(Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/95478/nu-kh-zainul-arifin-dan-masjid-istiqlal)
Tuesday, January 4, 2022
OLEH OLEH BUAT PKI
Ario Helmy
Saat menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri (Waperdam) dalam Kabinet Ali Satroamijoyo 1, KH Zainul Arifin ikut dalam rombongan kenegaraan Presiden Sukarno ke Mesir sebelum beribadah Haji ke Tanah Suci bulan Juli 1955. Setahun sesudahnya, Zainul Arifin juga termasuk sebagai anggota rombongan kenegaraan Sukarno mengunjungi beberapa negara: Amerika Serikat dan Eropa Barat. Dilanjutkan pada tahun yang sama muhibah ke Eropa Timur, Uni Soviet (Rusia) dan Cina.
Di Kairo, rombongan kenegaraan sempat mengunjungi Museum Nasional Mesir dimana mumi tubuh utuh Firaun dapat disaksikan oleh pengunjung. Sedangkan di Lapangan Merah Moskow, Presiden Sukarno diiringi anggota rombongan meletakkan karangan bunga di Mausoleum Stalin dan Lenin.
PIDATO DI MAJELIS KONSTITUANTE
Tahun 1956 Zainul Arifin terpilih sebagai anggota Majelis Konstituante berdasar Pemilu 1955 mewakili Partai NU. Selama sidang-sidang Konstituante itulah terbentuk dua kubu yang berbeda pandangan mengenai dasar negara: Islam dan Pancasila. NU dan partai-partai Islam memilih Islam sebagai dasar negara karena PKI condong ke Pancasila.
Menyikapi PKI yang seakan-akan "Pancasilais" Zainul Arifin mengungkapkan pandangannya terhadap sejarah tokoh-tokoh yang tidak mempercayai adanya Tuhan sebagaimana terdapat dalam Al Quran, yang tubuhnya tetap utuh tidak diterima bumi. Dalam pidatonya di depan sidang majelis Konstituante Zainul menyampaikan:
"Dengan petunjuk ayat Al Quran pula manusia modern sekarang ini dapat menggali mayat Firaun ini, dan sampai sekarang berada dalam salah satu museum di negeri Mesir yang tiap-tiap orang dapat melihat dan menyaksikan sendiri. Sayapun bersama-sama dengan rombongan Paduka Yang Mulia Presiden Sukarno, pada tahun 1955 dikala berkunjung ke negara Mesir, telah dapat menyaksikannya dengan mata sendiri, sebagai juga pada tahun yang lalu saya dapat menyaksikan mayat-mayat Stalin dan Lenin di dalam museumnya di Moskow dikala berkunjung ke sana dengan rombongan Paduka Yang Mulia Presiden"
(Lihat: Wilopo: Tentang Dasar Negara Dalam Konstituante, Jilid 2. Majelis Konstituante. Jakarta, 1958)
Namun, pada akhirnya, karena tidak juga di dapat kesepakatan yang memenuhi quorum antara kubu Pancasila dan Islam, akhirnya Majelis dibubarkan Presiden dan sebagai gantinya dikeluarkan Dekrit Presiden 1959 yang intinya mengembalikan UUD 1945 sebagai Dasar Negara.
Subscribe to:
Posts (Atom)