Akhir Agustus 1983, ketika Ibu dinas di Bank Dunia di Washington DC dan New York City, AS, saya diminta untuk menemani. Waktu itu memang kami tinggal di Houston, Texas, karena Ibu sedang ditempatkan di Kantor Perwakilan PT Pupuk Sriwijaya (PUSRI) di sana. Dari Houston, kami menuju Boston, Massachussets mengantar seorang putri pejabat yang hendak kuliah di kota itu. Baru dari situ, Ibu dan saya melanjutkan perjalanan ke ibu kota Amerika Serikat, Washington DC. Buat saya yang baru pertama kali ke sana, kota ini tampak begitu kecil dan membosankan. Bangunan-bangunannya kebanyakan kantor-kantor pemerintah yang tingginya tidak ada yang melampaui Monumen Washington di pusat kota dengan ketinggian sekira 13 lantai saja. Di sana kami menginap di Hotel Embassy Row, terletak persis berseberangan dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Amerika Serikat. Setiap kali dinas ke Washington Ibu selalu menginap di hotel ini.
Karena kami harus berpisah, di hari pertama Ibu mesti ke Bank Dunia, sedang saya tidak ada rencana kemana-kemana, Ibu menyarankan (sekalian membukukan) saya untuk mengikuti Tour Keliling Kota Washington. Tujuan tur meliputi: Gedung Putih, monumen-monumen ini dan itu, serta museum-museum aneka rupa. Ibu juga menentukan titik perpisahan kami di Islamic Center di ujung jalan sekira 5 menit dari tempat kami menginap. Dari situ Ibu bakal naik taksi ke Bank Dunia sedang saya akan dijemput Bis Turis.
Islamic Center yang memilliki mesjid berarsitektur gaya benteng Romawi itu kelihatan biasa-biasa saja buat saya. Waktu itu baik Ibu maupun saya sama sekali tidak tahu kalau di mesjid inilah Anggut, ayah Ibu, KH Zainul Arifin selalu Wakil Ketua DPR dan rombongan kenegaraan Presiden Sukarno pernah mampir untuk sholat sebelum menuju Gedung Putih berjarak sekitar 10 menit dari situ dan melakukan pembicaraan bilateral yang sangat bersejarah dengan Presiden Dwight Eisenhower tahun 1956.
DUTA BESAR MENINGGAL
Sejarahnya, ide pembangunan Mesjid Islamic Center Washington bermula ketika Duta Besar Turki Muenir Urteguen wafat pada 1944 tanpa adanya mesjid yang memadai untuk menyembahyangkan jenazahnya. Duta Besar Mesir kala itu, Muhammad Isa Abu Al-Hawa kemudian membahas rencana pembangunan mesjid untuk kaum Muslim di kawasan Washington DC. Usulnya itu segera mendapat tanggapan positif dari kalangan diplomat negara-negara Islam dan masyarakat umum Muslim AS.
Tanahnya dibeli pada 30 April 1946, sedangkan peletakan batu pertamanya berlangsung pada 11 Januari 1949. Mesjid bermenara setinggi 50m yang diarsiteki Prof. Mario Rossi dari Italia itu sudah dapat mulai digunakan sejak 1954. Jadi ketika rombongan Presiden Sukarno di awal musim panas, bulan Mei 1956 mampir untuk beribadah di sana, mesjid ini masih belum rampung benar. Mesjid baru diresmikan sendiri oleh Presiden Eisenhower pada 28 Juni 1957.
MESJID SETENGAH JADI
Dari foto-foto yang dimuat dalam majalah LIFE tahun 1956 mengenai kegiatan Sukarno beserta rombongan melaksanakan sholat di Islamic Center dapat dilihat kalau bangunan belum seluruhnya selesai. Lampu kristal dan pilar-pilar mesjid belum lagi dipasang. Begitu pula dengan dinding keramik serta tulisan-tulisan kaligrafi sumbangan pemerintah Turki. Dari foto-foto itu juga dapat disimpulkan rombongan melakukan sholat sunat mesjid dan Dhuha, karena tidak satupun foto menujukkan kegiatan sholat berjamaah. Selain itu, juga tampak jelas kalau anggota rombongan "entourage" Presiden tidak terlalu besar jumlahnya. Tidak sampai 20 orang, sudah termasuk ajudan-ajudan dan para pengawal.
Kamera begitu jeli merekam setiap gerakan Sukarno dari sejak melepas sepatu hendak memasuki area mesjid hingga foto bersama para pejabat kedua negara di akhir kunjungan di Islamic Center. Meski pembicaraan bilateral yang berlangsung anrara Sukarno dan Eisenhower berlangsung kurang bersahabat, namun agaknya penampilan foto-foto itu membuktikan bahwa Sukarno adalah seorang kepala negara mayoritas Muslim yang memang lebih suka memilih menjadi Non-Blok. Sedangkan kepada Zainul Arifin dalam kapasitasnya sebagai anggota parlemen dari partai Islam pemerintah Eisenhower menganugerahi bintang kehormatan setahun sesudah kunjungan.
Saya menyelesaikan tulisan ini sambil tersenyum karena sekarang setiap kali saya teringat kunjungan saya dan Ibu ke Islamic Center di Washington DC di penghujung musim panas 1983 itu, sayapun otomatis teringat Anggut juga.
No comments:
Post a Comment