Oleh: Ario Helmy
Begitu dipecat dari pekerjaannya di Gemeente (pemda) oleh penjajah Belanda yang tetiba merombak kebijakan karena dilanda kemerosotan ekonomi global di era 30-an, KH.Zainul Arifin beralih profesi menjadi pekerja seni sandiwara tradisional Samrah dan guru sekolah di Batavia. Selain itu, Arifin kembali mendalami ilmu agamanya serta aktif di organisasi pemuda NU, Ansor. Sebentar saja namanya sudah dikenal luas di kalangan ulama NU di Batavia dan Jawa Barat sebagai dai muda yang mumpuni dalam berdakwah. Dalam waktu singkat, dia sudah menjadi Konsul Majelis NU Batavia. Istrinya, Hamdanah Zainul Arifin dikenal sebagai istri kiai.
Ketika Jepang datang, Zainul semakin aktif di organisasi ulama Masyumi mewakili NU. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menugasinya untuk menggalang kekuatan di antara pemuda-pemuda Islam guna bersiap-siap menyongsong kemerdekaan yang dijanjikan Jepang.
"Umat Islam yang mempunyai jiwa yang hidup harus menuntut dan mempertahankan kemerdekaan jika perlu dengan jiwa raganya," seru Arifin ketika berkeliling Jawa Barat guna mengobarkan semangat menuntut kemerdekaan di kalangan santri.
Tak lama sesudahnya, dia terpilih sebagai Komandan laskar pemuda Islam Hizbullah yang pelatihannya berlangsung selama 2 bulan di Cibarusah, Bekasi.
ISTRI PEJUANG
Hamdanah Zainul Arifin secara berangsur-angsur mulai menyusaikan diri sebagai istri pejuang auh dari kehidupan nyaman dan aman. Sebagai Panglima Hizbullah, Zainul Arifin termasuk dalam daftar tokoh yang dicari-cari oleh Tentara Belanda selama masa perang kemerdekaan. Belanda ingin kembali menjajah Indonesia yang sudah memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Para pejuang yang terdiri dari tentara dan laskar-laskar yang juga sudah bersenjata harus melaksanakan Perang Gerilya di hutan-hutan dan gunung-gunung. Bisa berbulan-bulan lamanya keluarga yang ditinggalkan tidak dapat berhubungan dengan suami/ayah mereka.
Hamdanah Arifin yang sudah memiliki 10 orang anak harus berjuang keras menghidupi keluarganya. Dia harus pandai-pandai mencari penghasilan sendiri agar dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Untuk itu dia berjualan makanan sebisanya.
"Anak tertua dan kedua lelaki sudah mulai remaja. Sudah mulai ikut bergerilya," kenang Zuraida Fatma, putri keempat.
"Kami bertahan hidup dengan makanan seadanya. Mamih memasak sayur apa saja: daun pepaya, daun singkong, daun katuk, lalapan," lanjut Zuraida, "Mamih juga mengajarkan kami beternak ayam untuk diambil telurnya dan kambing untuk susunya. Karena adik-adik masih kecil-kecil. Di Kediri Mamih melahirkan adik kami Siti Aisyah. Dia terpaksa diberi susu kambing karena ASI Mamih tidak keluar."
Perang Kemerdekaan adalah zaman yang sangat sulit bagi semua orang. Selain susah mendapatkan bahan makanan, pakaian juga langka. Setiap anak-anak perempuan Hamdanah diharuskan belajar menjahit untuk memperbaiki dan menambal baju yang rusak.
"Karena Ayah harus bergerilya di hutan dan gunung, serta keadaan yang tidak aman kami terpaksa harus sering mengungsi. Berjalan kaki ratusan kilo sambil menggendong adik-adik yang lebih kecil," rinci Firman Arifin.
Kalau ada serangan udara keluarga besar ini harus mencari bunker, agar dapat bersembunyi di bawah tanah.
"Dalam perjalanan mengungsi sering kami temui mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Mamih sampai gemetaran membalik mayat-mayat itu satu-satu, takut kalau Ayah atau Uda Bai dan Uda Cecep tertembak mati." terang Firman pula.
Dari Kediri Hamdanah dan anak-anaknya mengungsi ke Malang, kemudian ke Solo. Sepanjang perjalanan harus melewati pos-pos penjagaan. Para pengungsi mengular antri menjalani pemeriksaan.
"Kami sampai mencubit adik bungsu yang masih bayi agar menangis keras. Lalu, biasanya kami di dahulukan."
GERILYA ALA AKTOR
Zainul Arifin bergerilya langsung di bawah koordinasi Jendral Sudirman. Dia memang termasuk lingkaran dalam Sudirman selaku Panglima Hizbullah dan anggota Dewan Kelaskaran Pusat dan Seberang.
Arifin menggunakan keahliannya sebagai aktor sandiwara untuk menyamar agar bisa menyusup kemana-mana.
"Ayah merubah penampilan dan gaya bicaranya sebagai seorang keturunan Arab dalam menyamar. Berkali-kali Ayah lolos dari kejaran tentara Jepang dan Sekutu." cerita putri Zainul, Siti Zuhara.
Namun pengorbanan seluruh Bangsa Indonesia menghadapi Perang Kemerdekaan yang diwarnai oleh dua kali Agresi Militer sepanjang 1945-1949 berbuah manis. Di penghujung tahun 1949 akhirnya Belanda mengakui kedaulatan NKRI sebagai negara bebas merdeka. Para pejuang pulang ke keluarga masing-masing. Zainul Arifinpun yang di awal kemerdekaan duduk di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) kembali ke parlemen sebagai anggota DPRS. Kembali ke Jakarta dan menjadi kepala keluarga lagi.
No comments:
Post a Comment