Oleh: Ario Helmy
Waktu umurku 9 tahun terjadilah kecelakaan yang lumayan traumatis bagi hidupku yang belum berdosa itu. Suatu sore salah seorang tanteku (lupa tepatnya yang mana, karena koleksi tante-tanteku lumayan banyak dan beragam) menyuruhku membeli roti di toko roti paling terkenal di seluruh jagad NKRI tepat di seberang rumah peninggalan kakekku di Jl. Cikini Raya no. 48, Menteng, Jakarta Pusat. Sebagai GoPay nya eh GoWalk nya dong ya aku boleh beli 1 cup es krim yang paling imut murah meriah, namun tetap terasa maknyus buat mulut anak baru kelas 3 SD. Waktu itu memang aku selalu membayangkan surga itu isinya kolam es krim dengan permen bergelantungan di pohon-pohon dengan bidadari-bidadari berkulit kuning dan bermata sipit berterbangan di sekitarnya. Mirip lah dengan toko kue dan es krim di seberang rumah Cikini yang pemiliknya asli non-pri, tapi barang-barang dagangannya layak ikut ke surga. Yah, namanya aku waktu itu belum rajin menabung ataupun mengaji. Namanya juga anak-anak.
BELUM SADAR DIRI
"Ciiit...gubrak!" Begitu saja seorang anak muda berkendara motor menabrak aku sampai aku jatuh terlentang di atas aspal. Padahal aku sedang "on the way back home" menyeberang dari Toko Tjan Njan sambil memegang bungkusan roti tawar (zaman itu masih "environmentally friendly" ya Gangs!) jadi roti TIDAK berbungkus plastik melainkan bertutup "kertas roti".
Apa? Dimana es krimnya? Menggelinding entah kemana. Wassalam...
Untungnya buat si penabrak, aku kala itu masih belum sadar kalau aku biar kerempeng-kerempeng begitu (attention please: pernah kurus!) adalah cucu seorang Pahlawan Nasional Ketua DPRGR dan pernah juga jadi Waperdam pula. Kalau zaman now, bisa panjang urusannya, Bro! Tapi alih-alih menangis Beirut (eh Bombay) aku dengan pede langsung bangkit dari aspal dan segera ngacir masuk ke halaman rumah, all the way ke gerbang yang kedua dimana "family room" berada.
Singkat cerita, tidak lama berselang ibuku yang ortu tunggal, balik dari kantor dan tidak lama sesudahnya tahu-tahu ada roti, kue-kue dan es krim es krim (cuma bidadari Tiongkok yang tidak dihidangkan) untuk semua orang. Malamnya, duduklah aku di sebelah Ibu di ruang tunggu dr. Suradi, dokter keluarga kami yang suka bicara Bahasa Inggris dengan Ibu. Biasalah periksa medis, toh!
Sekarang... kembali ke Es Krim!
ES KRIM UNTUK ISTANA
Ternyata selain aku yang doyan es krim Tjanang, 3 Presiden mengaku sangat suka es krim itu: Sukarno, Suharto, dan Megawati.
Nama asli tokonya Tjan Njan (kemudian di indonesiasi jadi Tjanang), didirikan oleh Lie Sim Fie seorang Cina totok daratan yang hijrah ke Batavia tahun 1940-an. Sim Fie merantau ke Hindia Belanda menyusul dan membantu kakaknya Lie Tjan Njan, pengusaha toko kelontong berjualan barang-barang keperluan orang Belanda.
"Dari coba-coba, Papa akhirnya menemukan resep es krim cikal bakal ciri khas toko Tjanang," cerita Yenie Lie, putri Sim Fie yang hingga kini tetap berjualan es krim warisan bapaknya. Senyampang semakin terkenalnya kelezatan es krim Tjanang ke seantero Jakarta, keluarga Lie akhirnya pada 1951 merubah toko kelontong saudaranya menjadi toko es krim dan aneka kudapan di Jl. Cikini Raya 50, Menteng, yang kini sudah berubah menjadi Hotel Cikini.
"Yang saya masih ingat, Papa pernah sangat sibuk waktu Presiden Sukarno memesan banyak es krim untuk acara-acara jamuan di Istana selama berlangsungnya Ganefo tahun 1963", kenang Yenie Lie.
Zaman Presiden Suharto es krim Tjanang juga masih jadi langganan katering Istana untuk acara-acara jamuan kenegaraan. Sedangkan zaman Presiden Megawati es krim Tjanang juga dicari-cari, meskipun lokasinya sudah pindah ke toko yang jauh lebih kecil.
Dulunya es krim dihidangkan dalam mangkuk-mangkuk stainless kecil, namun kini kemasannya terbuat dari plastik yang bisa dimakan di tempat ataupun dibawa pulang. Di tahun 1950an, pelanggan yang mau menyantap di lokasi resto biasanya menyantap sate ayam yang mangkal di depan toko dulu sebelum mengudap es krim sebagai pencuci mulut. Total ada12 pilihan rasa, dikemas dalam ukuran cup kecil, 0,6 liter, dan 1 liter: varian rasa kopyor, malaga, tape ketan, kacang ijo, durian, alpukat, hingga nougat. Tersedia juga varian kombinasi dimana satu cup terdiri dari rasa kopyor, strawberry, alpukat, dan cokelat.
Hingga tahun 1980-1990-an, es krim Tjanang merupakan restoran es krim yang tak hanya dikenal warga Jakarta, tetapi juga kalangan ekspatriat. Bersaing dengan es krim Baltic dan Ragusa.
PERNAH JADI TEMPAT JUDI
Ketika gubernur Ali Sadikin membolehkan tempat-tempat perjudian di Jakarta, Tjanang sempat berubah fungsi menjadi tempat judi dengan mesin-mesin pachinko dan jackpot. Sebagai anak kecil saya hanya bisa mengintip-intip dari luar.
Istri pemilik Tjanang juga masih teguh memegang tradisi negeri leluhurnya. Sepatunya sempit dan kecil membuat jalannya kelihatan aneh. Suatu ketika, pernah ada salah seorang anggota keluarga mereka yang meninggal dunia. Upacara pemberangkatan jenazah ke krematorium juga kelihatan heboh. Selain rombongan orang-orang berpakaian karung terigu, beberapa truk memuat mobil, rumah, telepon dan perabotan lain terbuat dari kertas. Konon, benda-benda itu ikut dibakar dengan jasad mendiang.
Begitu perjudian dilarang, Tjanang balik lagi menjadi toko eskrim dan restoran. Tapi tahun 1990 seluruh keluarga pindah ke AS kecuali Yeni Lie yang dalam usia lanjut 64 tahun memutuskan untuk tinggal dan meneruskan usaha es krim keluarga. Hanya saja, sekarang es krim buatannya hanya dititipkan ke beberapa restoran di kawasan Menteng.
Terakhir saya melihat dan membeli es krim Tjanang di salah satu mal di kawasan Puri Indah, Jakarta Barat sekira 7 tahun silam. Hanya berupa konter dekat eskalator di lantai 3. Tapi rasa es krim dan penganannya masih membuat saya jadi rajin membeli. Sayang sekira 2 tahun lalu konternya sudah tutup.
No comments:
Post a Comment