Zainul Arifin hijrah dari Kerinci di Sumatera Tengah ke Batavia pada 1926, dalam usia 17 tahun. Ormas Islam Nahdlatul Ulama berdiri di Surabaya tahun yang sama. Kelak Arifin akan berkiprah di organisasi Islam terbesar di tanah air tersebut hingga membawanya masuk kedalam kelompok negarawan Bapak Bangsa yang ikut membangun negeri sejak kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Berikut catatan sejarahnya:
Lahir sebagai keturunan Raja ke 20 Barus , Tapanuli Tengah, Tuanku Sutan Syahi Alam Pohan, di Barus pada 2 September 1909, Zainul Arifin hanya sempat sebentar saja dibesarkan di lingkungan istana kakeknya, Rumah Putih. Pasalnya, ayahandanya yang putra sulung Tuanku Sutan, Ramali Pohan dan ibundanya, Siti Baiyah boru Nasution bangsawan Mandailing, Tapanuli Selatan, bercerai ketika Arifin masih balita. Tak lama kemudian, ibunda Zainul menikah lagi dengan bangsawan Mandailing Nurdin Lubis yang bekerja sebagai Pengawas Hutan Kerinci Seblat.
DARI KERINCI KE JATINEGARA
Zainul Arifin ikut pindah ke Sungai Penuh, di kaki gunung Kerinci, bersama bunda dan bapak tirinya. Di sana dia menamatkan pendidikan HIS dan sekolah guru Normaal School. Sore harinya Zainul memperdalam ilmu agama di madrasah dan di surau ketika berlatih seni bela diri silat. Selain itu dia juga aktif berkesenian sandiwara musikal tradisional Stambul Bangsawan. Arifin lulus sekolah guru di usia 17 tahun. Di tahun itu pula ayahanda kandungnya wafat sebelum sempat memangku jabatan Tuanku. Zainul muda kemudian memutuskan untuk hijrah ke Jakarta memulai hidup mandiri berdikari, bermodal ijazah HIS dan Normaal School.
Begitu tiba di Betawi, Zainul diterima bekerja di pemda setempat (gemeente) tepatnya di BUMD PAM (Perusahaan Air Minum) yang hingga kini berkantor di kawasan Pejompongan. Di sana Arifin bekerja sekira 5 tahun lamanya hingga tetiba pemerintah kolonial terkena dampak resesi ekonomi dunia hingga akhirnya mengurangi tenaga-tenaga kerja pribumi.
Zainul Arifin kemudian bekerja sebagai guru di sekolah Perguruan Rakyat dekat domisilinya di daerah Jatinegara. Pun, Zainul kembali menekuni kegiatan kesenian Samrah, cikal bakal Gambang Kromong yang mirip benar dengan seni panggung Stambul Bangsawan yang pernah ditekuninya ketika masih sekolah HIS dan Normaal School, di Kerinci, Sumatera Tengah.
Kegiatan Samrah mempertemukannya dengan tokoh sandiwara serta kemudian film Indonesia, Jamaluddin Malik. Kedua sahabat kemudian juga sama-sama memasuki organisasi pemuda NU, Gerakan Pemuda Ansor. Selain, memperdalam lagi pengetahuan agamanya, di Ansor Arifin juga tekun mengikuti pelatihan muballigh. Didukung kefasihannya berbahasa Inggris dan Belanda serta kemampuannya berpidato dan berdebat, sebentar saja Zainul Arifin sudah diterima kalangan kiai-kiai NU di Batavia. Ditambah lagi perkenalannya dengan Wahid Hasyim, putra Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari yang baru kembali dari pendidikannya di Arab Saudi dan menetap di Batavia, Zainul dan Jamaluddin direkrut sebagai pengurus NU di Batavia. Arifin sudah menjadi Ketua Cabang NU Jatinegara sekitar tahun 1933.
BERSINAR DI MUKTAMAR
Meski baru sebagai Ketua Cabang Jatinegara, Zainul Arifin sudah dipercaya memimpin pelaksanaan Muktamar NU ke 13 di Menes, Banten pada 1938. Abdul Mun'im DZ dalam bukunya: Fragmen Sejarah NU (Pustaka Compass: 2017) merinci kiprah Zainul dalam Muktamar tersebut:
"Namun demikian dalam mengelola persidangan sejak hari pertama hingga hari penutupan sepenuhnya diserahkan pada KH Zainul Arifin, walaupun saat itu belum pengurus PBNU melainkan masih menjadi Konsul NU Wilayah Meester Cornelis (Jatinegara, Batavia)." (DZ: p.51)
Hanya 1 persidangan yang absen dipimpin Zainul Arifin, sidang 15 Juni 1938. Hari itu Arifin harus menghadap Residen Serang untuk meminta izin agar dapat melaksanakan Muktamar di area terbuka hingga dapat dihadiri oleh banyak warga NU.
Keberhasilan Zainul mendapatkan izin dari Residen membuat Ketua PBNU Mahfudz Siddiq memujinya.
No comments:
Post a Comment