Ario Helmy
"Salah satu keberhasilan kerja KH Zainul Arifin sebagai Ketua DPRGR adalah diundangkannya UU AgrariaNo.5 Tahun 1960 yang merupakan reformasi agraria yang sangat revolusioner," kata Ketua MPR Taufik Kiemas dalam sambutannya pada Peringatan seabad KH Zainul Arifin yang dilangsungkan secara nasional di Hotel Borobudur Jakarta pada 2009 silam.
Tanggal 24 September 2020 menandai Hari Tani Nasional ke 60 tahun. Penetapan Hari Tani nasional didasari oleh ditetapkannya UU Agraria pada 24 September 1960 oleh DPRGR yang diketuai KH Zainul Arifin dari partai NU. Pada bulan kelahiran Zainul Arifin ke 111 saya ingin menelusuri kembali perjalanan Undang Undang ini dari sejak ditetapkannya hingga belakangan ini.
Nasionalisasi UU Agraria
Selama 12 tahun sejak tahun 1948 pemerintah merancang UU Agraria Nasional sebagai pengganti UU Kolonial dengan membentuk Panitia Agraria Yogyakarta. Namun tumbuh kembangnya situasi politik di awal-awal kemerdekaan menimbulkan gejolak-gejolak yang menghambat kerja panitia. Sampai empat kali gonta-ganti panitia masing-masing Panitia Agraria Jakarta 1952, Panitia Suwahyo 1956, Panitia Sunaryo 1958 dan akhirnya Rancangan Sujarwo 1960 belum juga RUU Pembaruan disidangkan untuk diundangkan.
Zainul Arifin sendiri memahami perkembangan masalah UU Agraria Nasional karena saat menjadi wakil perdana menteri (waperdam) dalam Kabinet Ali I (1953-1955) pemerintahnya mengeluarkan UU Darurat no 8 tahun 1954 saat terjadinya Peristiwa Tanjung Morawa, kasus perebutan hak penggarapan tanah oleh rakyat atas tanah perkebunan asing yang dulunya dikuasai perusahaan perkebunan penjajah Belanda.
Tanah Untuk Rakyat
Selanjutnya, pada 1958 dikeluarkanlah UU No 1/1958 yang menghapuskan hak tanah swasta dimana di zaman penjajahan Belanda tanah-tanah itu disewakan kepada orang-orang berduit hingga mereka leluasa menjadi tuan tanah di atas tanah yang disewanya. Tuan-tuan tanah berhak mengambil pungutan-pungutan terhadap rakyat, bahkan bisa memaksakan kerja paksa atas penduduk desa di sekitar tanahnya. UUPA 1960 mengubah segalanya dengan drastis. UU ini melandasi hukum sehubungan dengan pembatasan penguasaan tanah, persamaan hak bagi setiap warga negara untuk memeroleh hak atas tanah, hak mendapat pengakuan secara hukum adat dan melarang pihak asing mendapatkan hak milik tanah. UUPA meletakkan landasan hukum berkenaan dengan distribusi penggunaan tanah yang dianggap monumental sekaligus revolusioner.
Setelah pemerintah mengeluarkan UU Darurat No 8 tahun 1954 tentang pemakaian tanah perkebunan hak erfpacht oleh rakyat. Pendudukan lahan tak lagi dianggap sebagai pelanggaran hukum. Pemerintah akan berupaya menyelesaikannya melalui pemberian hak dan perundingan di antara pihak-pihak yang bersengketa.
Beku Di Era Suharto
Dewan Mahasiswa Pertanian Universitas Gajah Mada pada laman resminya mengungkap pada 1967, zaman pemerintahan Suharto, lahir UU Penanaman Modal Asing, UU Pokok Kehutanan, dan UU Pertambangan, yang nyatanya bertolak belakang dengan UUPA. Ketiga UU baru tersebut kemudian disinyalir sebagai penjelmaan kembali dari UU Agraria kolonial 1870. Konflik-konflik agrariapun segera mencuat di mana-mana.
Kalau penguasa mendasarkan kepada hukum positif atas nama pembangunan, rakyat jelata bersandar pada hukum adat atau keterangan pengelolaan tanah sementara. Pemerintah kala itu abai dalam memberikan penyuluhan kepada rakyat tentang arti hak kepemilikan tanah. Masyarakat berkukuh letter C sudah cukup menjadi bukti hak milik, padahal berdasar ketentuan pemegang letter C hanya berhak untuk mengusahakan. Untuk menjadi hak milik, mereka harus mengurus ke Departemen Agraria untuk mendapatkan sertifikat hak milik. Karena itulah pada zaman Suharto banyak tanah mudah digusur karena penduduk hanya memiliki letter C.
No comments:
Post a Comment