Ario Helmy
Tanggal 17 September 2021 kemarin adalah peringatan hari kelahirannya yang ke 87 tahun. Siti Zuraida Fatma, akrab dipanggil Ibu Ida atau Ibu Neneng di kalangan ibu-ibu Muslimat NU adalah putri pahlawan nasional KH Zainul Arifin tertua yang kini masih ada. Lahir sebagai anak keempat, putri kedua, di zaman sulit sebagai imbas terjadinya The Great Depression pencetus krisis ekonomi global yang dimulai dengan terpuruknya harga-harga saham di Wall Street, AS. Ayahandanya, KH Zainul Arifin yang sebelumnya bekerja untuk pemda kolonial Batavia, Gementeestaat-waterleidengen van Batavia (Perusahaan Daerah Air Minum/PDAM) diberhentikan dari perusahaan air minum tempatnya bekerja itu.
ANAK GURU ANAK SENIMAN
Setelah di PHK karena program penghematan pengeluaran dan pengurangan karyawan oleh Kerajaan Belanda, KH Zainul Arifin, kemudian melamar menjadi guru dan membentuk kelompok sandiwara musikal Samrah, cikal bakal Gambang Kromong dan Lenong Betawi. Sebelumnya, semasa masih tinggal di Kerinci, Sumatera Tengah, Zainul memang sudah terbiasa ikut dengan rombongan seni pertunjukan Stambul Bangsawan cikal bakal Samrah. Arifin sejak kecil sudah mahir menggesek biola selain sebagai penyanyi juga.
Makanya, begitu membentuk Tonil Zainul di Batavia, namanya segera tersohor ke seluruh pelosok Betawi. Kelompoknya itu sering di undang ke acara-acara hajatan para tuan tanah kaya raya.
Pekerjaan utamanya adalah guru sekolah dasar di dekat tempat tinggalnya di kawasan Kampung Melayu, Jatinegara (dulu disebut Mesteer). Sekolah itu masih ada hingga sekarang.
"Ayah juga sering di minta bantuan hukum untuk masyarakat awam yang buta hukum karena tidak faham Bahasa Belanda, " kenang Zuraida suatu ketika, "Setelah saya bear saya baru tahu kalau istilahnya Pokrol Bambu," lanjutnya.
MENGUNGSI KE JAWA
Ida atau Neneng sempat mengenyam sekolah khusus kepandaian putri yang selain mengajarkan keahlian baca tulis juga melatih ketrampilan memasak, menjahit serta kecakapan rumah tangga lainnya. Pada masa itu, berkecamuk Perang Dunia II dan tak lama sesudahnya Jepang datang menggantikan Belanda menjajah Hindia Belanda.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan, keluarga besar Zainul Arifin hidup di pengungsian.
"Sebagai komandan Laskar Hizbullah, Ayah dicari-cari pasukan Jepang dan Belanda. Jadi, kami sering harus berpindah", tutur Neneng.
"Kami pernah mengungsi ke daerah Solo, karena Ayah juga anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat. Saya jadi terbiasa berbicara dalam Bahasa Jawa Solo."
Sebelumnya, di rumah Ida selalu berbicara Bahasa Sunda dengan ibunya yang asli Bogor.
"Waktu Agresi Militer II, Ayah mengungsikan kami ke Jawa Timur, kawasan Kediri dan Singosari. Gaya Bahasa nya beda lagi, Jawa Timuran.
BERKHIDMAT DI MUSLIMAT
Ketika keadaan negeri merdeka sudah lebih kondusif, seluruh keluargapun kembali ke Jakarta. Karier KH Zainul Arifin sebagai politisi NU semakin moncer.
Tahun 1950-an manakala hubungan antara Zainul dan Presiden Sukarno sedang dekat-dekatnya, Neneng menikah dengan seorang putra pejabat berdarah Aceh yang tinggal di Medan, meskipun pernikahan diadakan di rumah namun tetap berlangsung meriah. Sukarno dan pejabat tinggi serta tertinggi negara hadir. Begitu juga diplomat dan pelaku bisnis dalam dan luar negeri.
Awal 1970an Zuraida dan kakak kandungnya, Lies, mulai aktif di Muslimat NU menggantikan ibundanya, Hamdanah Abdurrahim.
Selama hampir 40 tahun, Zuraida Fatma Arifin duduk dikepengurusan Muslimat NU di bidang Koperasi dan Seksi Pendidikan.
"Ibu aktif di Koperasi Muslimat di bawah Ibu Djazuli Wangsasaputra, " terang Diah Zulfah putrinya yang juga pernah sempat membantu ibunya di Koperasi.
"Salah satu program Koperasinya itu Program Dana Bergulir yang sistemnya mirip dengan Kredit Lunak. Program yang aktif membantu UMKM ini berjalan baik dengan omzet yang cukup besar. "
Diah juga menjelaskan bagaimana Ibunda aktif mengembangkan Program Pemberantasan Buta Huruf buat ibu-ibu di pengajian-pengajian.
"Ibu malah ikut turun mengajar sendiri ibu-ibu itu," Kenang Diah pula.
Siti Zuraida Fatma mulai tidak bisa aktif di Muslimat karena usianya yang semakin uzur, sejak sekira 10 tahun belakangan.
"Ibu sebenarnya sehat. Tapi sudah makin jarang bicara." cerita Dian Meutia, putri bungsunya. Sejak lebih banyak terbaring saja itu, mantan Ibu Negara Nuriyah Abdurrahman Wahid, yang juga sahabatnya itu pernah datang menjenguk ke rumah nya di Cipete.
"Ibu banyak tersenyum dan nyambung diajak ngobrol Ibu Nuriyah," tutup Diah.
Sehat selalu dan Selamat Hari Ulang Tahun, Ibu!
No comments:
Post a Comment