Oleh: Ario Helmy
Saat Sukarno berpidato di Istora Senayan, Jakarta pada 21 Desember 1965, diungkap bagaimana dirinya mengalami percobaan pembunuhan sampai sebanyak empat kali. Satu percobaan pembunuhan yang secara khusus disinggung Sukarno dalam pidatonya itu adalah peristiwa tragedi sholat Idul Adha yang berlangsung 14 Mei 1962 di halaman rumput antara Istana Negara dan Istana Merdeka.
KENA PELURU NYASAR
Pagi itu Sukarno bersembahyang di saf terdepan bersama-sama beberapa pejabat tinggi dan tertinggi Negara termasuk Ketua DPR KH Zainul Arifin.
Usai ruku' di rakaat dua, senyampang imam sholat Ketua PBNU ketika itu, KH Idham Chalid hendak bertakbirratul ihram, terdengar beberapa tembakan peluru dari arah jamaah di saf keempat. Seketika suasana sempat berubah menjadi kepanikan. Seturut para petugas pasukan kawal presiden melakukan upaya penyelamatan kepala negara, KH Zainul Arifin malah tersungkur ke atas sajadah dengan dada berlumur darah berasal dari bahu kirinya yang terkena serempetan peluru.
"Syukur alhamdullilah, saya dalam semua peristiwa itu dilindungi oleh Tuhan. Kalau tidak, tentu saya sudah mati terbunuh. Dan mungkin, akan saudara namakan tragedi nasional," ucap Soekarno dalam pidatonya di Istora Senayan tersebut.
BERTAHAN SEPULUH BULAN
Presiden pertama RI selamat dari percobaan pembunuhan di tempat terbuka itu, namun KH Zainul Arifin sejak itu harus keluar masuk rumah sakit karena kesehatannya yang jadi terganggu.
Sepuluh bulan sesudahnya, 2 Maret 1963, Zainul Arifin wafat hanya seminggu setelah Idul Fitri 1382 H. Ketika Presiden Sukarno datang melayat ke rumah duka di Jl. Cikini Raya 48, Menteng, Jakarta Pusat, Hamdanah Abdurrahim janda Zainul Arifin menangis di dada Presiden mengucap, "Suami saya tidak pernah sembuh lagi sejak kena tembakan di lapangan Istana."
Sukarno menengadahkan mukanya senyampang menahan keharuan dari balik kacamata hitamnya.
No comments:
Post a Comment