(Ario Helmy)
"Naik - naik, ke puncak gunung
tinggi - tinggi sekali
Naik - naik, ke puncak gunung
tinggi - tinggi sekali
Kiri - kanan kulihat saja
banyak pohon cemara
Kiri - kanan kulihat saja
banyak pohon cemara"
Ibu Soed aka Sarcidjah Niung mengarang lagu anak-anak berlirik seperti diatas guna menggambarkan indah dan menakjubkan perjalanan dari Jakarta menuju villa di Kawasan Puncak. Yang menceritakan hal itu Carmenita, kemenakan Ibu Soed(ibyo) seorang perancang busana. Ibu Soed sendiri di masa hidupnya selain terkenal sebagai pengarang lagu anak-anak, guru musik dan penyiar radio juga dikenang sebagai seniman seni batik kesayangan Presiden pertama RI, Sukarno. Keluarga Soedibyo termasuk keluarga yang kerap kali diundang untuk tetirah di Istana Kepresidenan di Cipanas.
MENCARI INSPIRASI
Bung Karno seringkali menggunakan Istana Cipanas untuk beristirahat dan mencari inspirasi sebagai bahan untuk pidato-pidatonya. Bangunan kuno Istana dulunya dimiliki seorang Tuan Tanah Belanda, Van Heots, selesai dibangun sekira 1740. Setelahnya, istana ini menjadi tempat peristirahatan Gubernur Jendral Gustaaf Willem Baron van Imhoff serta pejabat-pejabat gubernur jenderal setelahnya. Suasana pegunungan dan sumber air panas menjadi daya tarik utamanya.
Berbeda dengan air panas lainnya, air panas di Istana Cipanas tidak mengandung belerang. Jika air panas lainnya tidak disarankan untuk berendam lebih dari satu jam, air panas alami Cipanas diperbolehkan untuk berendam lebih dari satu jam. Meski berbeda, khasiat air panas sama dengan yang di tempat lain.
Setelah Indonesia merdeka, Sukarno menamaulang tiga paviliun yang ada disana menjadi Paviliun Yudistira, Paviliun Bima dan Paviliun Arjuna. Tahun 1984 di masa pemerintahan Presiden Suharto, ditambahkan dua paviliun lagi: Paviliun Nakula dan Paviliun Sadewa.
Sebagai tempat mencari inspirasi, Sukarno meminta arsitek R.M. Soedarsono dan F. Silaban untuk membangun Gedung Bentol di puncak bukit. Gedung berhiaskan bebatuan alam yang ditempelkan pada dinding dan lantainya hingga menyerupai bentol-bentol, seperti gigitan nyamuk.
Dari puncak bukit itu setiap Subuh dapat terlihat dengan jelas puncak Gunung Gede sebelum tertutup halimun. Di sanalah sang Proklamator acapkali mencari ilham untuk pidato-pidatonya.
PRESIDEN KEBAPAKAN POLIGAMIS
"Kami sering diundang untuk berakhir pekan di Istana Cipanas," kenang Firman Arifin, Di sana semua tamu membaur. Presiden Sukarno senantiasa menyempatkan diri bercengkrama dengan anak-anak. Kami selalu disapa satu persatu."
"Dalam foto yang masih saya simpan, Ayah, Mamih dan anak-anak sedang berlibur ke Istana Cipanas atas undangan Presiden Sukarno. Kakak saya, Addy tampak meringis karena habis dicacar. Dia jadi tidak bisa bermain dengan anak-anak lain karena masih demam," tambah Ratna Qomariah Arifin.
Sementara itu, kedekatan Presiden Sukarno dengan para kiai sempat mengalami pasang surut, khususnya pada 1953 saat Sukarno meminta kiai-kiai NU untuk merestuinya mengambil istri kedua, Hartini. Seorang janda berusia 28 tahun beranak lima. Tahun 1952 di Salatiga, Hartini berkenalan dengan Sukarno yang rupanya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Saat itu Presiden sedang dalam perjalanan menuju Yogyakarta untuk meresmikan Masjid Syuhada.
DEMO PEREMPUAN DAN SERANGAN MEDIA
Historia.id mengutip:
"Hubungan awal mereka pakai inisial nama Srihana dan Srihani untuk bersurat. Hubungan Bung Karno dan Hartini lantas di blow up ke publik oleh suratkabar Indonesia Raya,” ujar Arifin Suryo Nugroho, penulis buku Srihana-Srihani: Biografi Hartini Sukarno, kepada Historia. Berita ini menjadi isu panas selama sebulan lebih di Indonesia Raya.
Kebetulan peristiwanya senyampang dimulainya pemerintah Kabinet Ali Sastroamijoyo I dimana Zainul Arifin duduk sebagai Waperdam. Desas-desusnya Arifin kiai yang menikahkan pasangan menghebohkan ini. Padahal menurut Kiai Saifuddin Zuhri dalam otobiografi, Berangkat Dari Pesantren yang menikahkan Bung Karno dengan Bu Hartini adalah H. Djunaidi, ayahanda Mahbub Djunaidi.
DIKECAM ALI DAN HATTA
Pernikahan Sukarno dengan Hartini mendapat kecaman dari wapres Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo sebagaimana dinukil harian Republika. Hingga Sukarno lengser, hubungan-hubungan itu tidak pernah pulih kembali. Di sisi lain, KH Zainul Arifin serta kiai-kiai lain dijadikan penasehat-penasehat kepercayaan Presiden. Beberapa kali Sukarno meminta izin untuk menikah lagi dengan alasan, "Agar tidak berzinah."
Padahal, pada saat bersamaan, Hartini yang sudah mengambil alih peran Ibu Negara mulai didekati PKI.
Menurut Legge dilansir Historia.id, Hartini merupakan pendamping terpenting Sukarno selama era Demokrasi Terpimpin. Sejak 1955, Hartini telah berkembang secara politik. Semula dia hanya berada di belakang layar. Menjelang dekade 1960-an, Hartini berusaha keras melayani Sukarno sebaik-baiknya, menjadi istri sekaligus teman politiknya. Hartini dicatat pernah dekat dengan Gerwani, sayap organisasi perempuan PKI.
KONFERENSI ALIM ULAMA
Istana Cipanas juga memberikan kenangan khusus bagi KH Zainul Arifin karena dia dan menteri agama KH Masykur berinisiatif melaksanakan Konferensi Ulama pada 3 - 6 Maret 1954 di Istana Cipanas yang menghasilkan pemberian gelar Waliyy al Amri (Pemegang Pemerintahan), adl Dlaruri bi Asy Syaukah (dalam keadan darurat, belum dipilih rakyat), Bi asy syaukah (yang memegang kekuasaan) bagi Presiden Sukarno. Konferensi ini sebagai salah satu upaya meredam pemberontakan-pemberontakan DI/TII. Wakil Perdana Menteri KH Zainul Arifin kemudian menegaskan bahwa, "Presiden, pemerintah dan parlemen adalah walhiyul amri dlaruri bis syaukah yang harus dipatuhi. Bagi yang memberontak hukumnya sudah jelas."