Total Pageviews

Wednesday, September 16, 2015

NAPAK TILAS: MENGALIR SAMPAI PEJOMPONGAN

Oleh: Ario Helmy

Maket dan Model instalasi PAM Jaya di Pejompongan tampak sangat modern. Kantor penyediaan air bersih yang berdiri sejak 1920-an itu memiliki sejarah panjang. Berdiri berkat usaha Pahlawan Nasional Betawi, Muhammad Husni Thamrin, pahlawan nasional KH Zainul Arifin juga pernah berkantor di sini saat pertama kali ia tiba di Batavia pada tahun 1926.
Sebelumnya, Zainul Arifin melewati 17 tahun pertama hidupnya di Sumatera, dimana ia menamatkan HIS (Sekolah Dasar Berbahasa Belanda) dan Normaal School (Sekolah Menengah Calon Guru). Zainul Arifin kemudian merantau ke Batavia (sekarang Jakarta) dan diterima bekerja di Gementeestaat-waterleidengen van Batavia
(Perusahaan Daerah Air Minum/PDAM) yang hingga sekarang masih berkantor di Jalan Penjernihan II Pejompongan, Jakarta Pusat. Perusahaan ini berdiri berkat perjuangan putra daerah Muhammad Husni Thamrin, pahlawan asli Betawi. Sebelumnya penduduk Batavia mengambil kebutuhan air bersih dari sumur bor/artesis yang mulai disediakan pemerintah daerah (gemeente) pada 1843. Sekitar tahun 1918-1920 sebuah sumber mata air ditemukan di Ciburial daerah Ciomas, Bogor yang mampu menyediakan 484 liter perdetiknya. Pada 23 Desember 1922 untuk pertama kalinya air dari Ciburial dialirkan ke Batavia. Tanggal tersebut kini dijadikan hari jadi PAM Jaya. Namun penduduk masih kurang menyukai rasa air yang dihasilkan. Kemudian air kali Ciliwung yang sebelumnya di sebut Canal Swiss mulai dibangun dan dipersiapkan untuk memasok air ke Pejompongan. Semua itu di penuhi Gemeente, berkat desakan-desakan Muhammad Husni Thamrin yang duduk sebagai anggota Gemeenteraad Batavia (DPRD). Tidak terlalu banyak keterangan yang dapat ditelusuri lagi mengenai hubungan antara Zainul Arifin dan Husni Thamrin yang 15 tahun, kecuali dari kenangan keluarga yang pernah diceritakan Zainul sendiri di masa hidupnya. Namun, satu hal pasti sejarah mencatat Arifin merupakan tokoh pendatang yang disegani di Batavia, terlebih ketika dia menjabat sebagai Ketua Majelis Konsul NU Batavia.
"Tidak gampang untuk bisa diterima menjadi pegawai Gemeente seperti Zainul Arifin," ungkap Hamid Baidlowi yang pernah menjadi sekertaris KH Wahid Hasyim. "Dengan pengalaman sebagai pegawai pemda kolonial, Zainul Arifin banyak membantu kegiatan NU, terutama menyangkut masalah perizinan muktamar di wilayah Batavia dan Banten."
Zainul Arifin bekerja di kantor ini hanya selama 5 tahun, sebelum akhirnya ia diberhentikan karena terjadi krisis ekonomi dunia yang membuat pemerintah kolonial Belanda harus melakukan pengetatan. Caranya dengan mencabut semua kebijakan yang sebelumnya masih memberi peluang bagi pribumi untuk bekerja di kantor-kantor pemerintah, meskipun sangat terbatas. Namun Zainul Arifin tetap tinggal di Batavia dan menghabiskan sisa hidupnya di kota ini. Wajar saja kalau ia merasa dirinya sebagai bagian dari Batavia atau Betawi.

Tuesday, September 15, 2015

Kutipan dari KH Zainul Arifin 

(Dari buku berbahasa Inggris tentang alasan NU memisahkan diri dari Partai Masyumi:

"But this Madjelis Syura, which was predominantly occupied by our ulamas, was used as a jewelled ring, worn only for going to feasts, and locked in the drawer when these feasts were finished. Since then, Madjelis Syura had never been invited to discuss matters related to the steps that were taken by the Masyumi, despite the fact that actually our ulamas had enough skills and tacts for these matters. Such had been proven in the Madiun Congress, when our ulamas worked and sweated to resolve and analyze problems directly connected with politics, national and international. Nevertheless, all the resolutions which were then submitted to the Masyumi were ignored and forgotten. " (Naim 1961: 2).

(Sumber: Nahdlatul Ulama and the Struggle Within Islam and Politics in Indonesia. Institute of Southeast Asian Studies, 2009.)

KUTIPAN-KUTIPAN KAHAZA:



"Soal kemerdekaan dalam Islam bukanlah soal semboyan dan cita-cita saja, tetapi adalah menjadi dasar dari agama. Umat Islam yang mempunyai jiwa yang hidup harus menuntut dan mempertahankan Kemerdekaan. Jika perlu dengan jiwa raganya."

(13 September 1944, Rapat Umum Umat Islam di Taman Raden Saleh Jakarta)

Sumber: Harian TJAHAJA, 15 September 1944, p.1


."Tanah Jawa adalah suatu negeri yang penduduknya sebagian besar terdiri dari umat Islam, sehingga dengan sendirinya kita tidak boleh ketinggalan untuk menyelenggarakan Benteng Perjuangan Jawa. Karena itu kedudukan kaum ulama bertambah penting. Marilah kita membaharui niat ikut berjuang dalam Benteng Perjuangan Jawa.

(30 Juli 1944, Musyawarah Ulama Jawa Barat dihadiri 600 Ulama)
Sumber: Harian SINAR BAROE, 1 Agustus 1944, p.3.

"Soal kemerdekaan dalam Islam bukanlah soal semboyan dan cita-cita saja, tetapi adalah menjadi dasar dari agama. Umat Islam yang mempunyai jiwa yang hidup harus menuntut dan mempertahankan Kemerdekaan. Jika perlu dengan jiwa raganya."

(13 September 1944, Rapat Umum Umat Islam di Taman Raden Saleh Jakarta)
Sumber: Harian TJAHAJA, 15 September 1944, p.1.


Friday, September 11, 2015

MESJID KENANGAN IBU DAN ANGGUT



Oleh: Ario Helmy




Akhir Agustus 1983, ketika Ibu dinas di Bank Dunia di Washington DC dan New York City, AS, saya diminta untuk menemani. Waktu itu memang kami tinggal di Houston, Texas, karena Ibu sedang ditempatkan di Kantor Perwakilan PT Pupuk Sriwijaya (PUSRI) di sana. Dari Houston, kami menuju Boston, Massachussets mengantar seorang putri pejabat yang hendak kuliah di kota itu. Baru dari situ, Ibu dan saya melanjutkan perjalanan ke ibu kota Amerika Serikat, Washington DC. Buat saya yang baru pertama kali ke sana, kota ini tampak begitu kecil dan membosankan. Bangunan-bangunannya kebanyakan kantor-kantor pemerintah yang tingginya tidak ada yang melampaui Monumen Washington di pusat kota dengan ketinggian sekira 13 lantai saja. Di sana kami menginap di Hotel Embassy Row, terletak persis berseberangan dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Amerika Serikat. Setiap kali dinas ke Washington Ibu selalu menginap di hotel ini.
Karena kami harus berpisah, di hari pertama Ibu mesti ke Bank Dunia, sedang saya tidak ada rencana kemana-kemana, Ibu menyarankan (sekalian membukukan) saya untuk mengikuti Tour Keliling Kota Washington. Tujuan tur meliputi: Gedung Putih, monumen-monumen ini dan itu, serta museum-museum aneka rupa. Ibu juga menentukan titik perpisahan kami di Islamic Center di ujung jalan sekira 5 menit dari tempat kami menginap. Dari situ Ibu bakal naik taksi ke Bank Dunia sedang saya akan dijemput Bis Turis.
Islamic Center yang memilliki mesjid berarsitektur gaya benteng Romawi itu kelihatan biasa-biasa saja buat saya. Waktu itu baik Ibu maupun saya sama sekali tidak tahu kalau di mesjid inilah Anggut, ayah Ibu, KH Zainul Arifin selalu Wakil Ketua DPR dan rombongan kenegaraan Presiden Sukarno pernah mampir untuk sholat sebelum menuju Gedung Putih berjarak sekitar 10 menit dari situ dan melakukan pembicaraan bilateral yang sangat bersejarah dengan Presiden Dwight Eisenhower tahun 1956.
DUTA BESAR MENINGGAL
Sejarahnya, ide pembangunan Mesjid Islamic Center Washington bermula ketika Duta Besar Turki Muenir Urteguen wafat pada 1944 tanpa adanya mesjid yang memadai untuk menyembahyangkan jenazahnya. Duta Besar Mesir kala itu, Muhammad Isa Abu Al-Hawa kemudian membahas rencana pembangunan mesjid untuk kaum Muslim di kawasan Washington DC. Usulnya itu segera mendapat tanggapan positif dari kalangan diplomat negara-negara Islam dan masyarakat umum Muslim AS.
Tanahnya dibeli pada 30 April 1946, sedangkan peletakan batu pertamanya berlangsung pada 11 Januari 1949. Mesjid bermenara setinggi 50m yang diarsiteki Prof. Mario Rossi dari Italia itu sudah dapat mulai digunakan sejak 1954. Jadi ketika rombongan Presiden Sukarno di awal musim panas, bulan Mei 1956 mampir untuk beribadah di sana, mesjid ini masih belum rampung benar. Mesjid baru diresmikan sendiri oleh Presiden Eisenhower pada 28 Juni 1957.
MESJID SETENGAH JADI
Dari foto-foto yang dimuat dalam majalah LIFE tahun 1956 mengenai kegiatan Sukarno beserta rombongan melaksanakan sholat di Islamic Center dapat dilihat kalau bangunan belum seluruhnya selesai. Lampu kristal dan pilar-pilar mesjid belum lagi dipasang. Begitu pula dengan dinding keramik serta tulisan-tulisan kaligrafi sumbangan pemerintah Turki. Dari foto-foto itu juga dapat disimpulkan rombongan melakukan sholat sunat mesjid dan Dhuha, karena tidak satupun foto menujukkan kegiatan sholat berjamaah. Selain itu, juga tampak jelas kalau anggota rombongan "entourage" Presiden tidak terlalu besar jumlahnya. Tidak sampai 20 orang, sudah termasuk ajudan-ajudan dan para pengawal.
Kamera begitu jeli merekam setiap gerakan Sukarno dari sejak melepas sepatu hendak memasuki area mesjid hingga foto bersama para pejabat kedua negara di akhir kunjungan di Islamic Center. Meski pembicaraan bilateral yang berlangsung anrara Sukarno dan Eisenhower berlangsung kurang bersahabat, namun agaknya penampilan foto-foto itu membuktikan bahwa Sukarno adalah seorang kepala negara mayoritas Muslim yang memang lebih suka memilih menjadi Non-Blok. Sedangkan kepada Zainul Arifin dalam kapasitasnya sebagai anggota parlemen dari partai Islam pemerintah Eisenhower menganugerahi bintang kehormatan setahun sesudah kunjungan.
Saya menyelesaikan tulisan ini sambil tersenyum karena sekarang setiap kali saya teringat kunjungan saya dan Ibu ke Islamic Center di Washington DC di penghujung musim panas 1983 itu, sayapun otomatis teringat Anggut juga.

KERESAHAN DI KOTA KELAHIRAN







Secara kebetulan, bertepatan dengan peringatan tanggal lahir Pahlawan Kemerdekaan Nasional KH Zainul Arifin ke 106, 2 September lalu, KOMPAS memuat pada rubrik Nusantara artikel berjudul, Otonomi Daerah: Memimpikan Kabupaten Barus Raya di halaman 24. Tulisan karya ST Sularto itu mendedah keadaan Barus, kota pesisir pantai di Tapanuli Tengah yang belakangan ramai digadang-gadang menjadi Ibu Kota Kecamatan Kabupaten Barus Raya. Sayangnya, hingga akhir tulisan Sularto merasa tidak menemukan kepantasan kota yang pernah mahsyur mancanegara sejak abad 2 Masehi karena kekayaan kapur Barusnya itu untuk dijadikan sebuah Ibu Kota Kabupaten yang "Raya". Sejarah panjang pelabuhan antarbangsa yang mempertemukan pelbagai suku bangsa dunia dekat dan jauh dalam aktivitas perdagangan itu tidak ada museumnya, bak dongeng rakyat tak terbukukan.

Padahal, dalam suatu kesempatan beraudiensi di kamar pribadi Presiden RI ke 4, Abdurrahman Wahid, saya sempat dipetuahi agar berbangga hati memiliki kakek yang lahir di salah satu gerbang terpenting masuknya Islam ke Nusantara. Gus Dur menyinggung para arkeolog Prancis melakukan penggalian besar-besaran di tanah kelahiran Zainul Arifin.
Namun Sularto mewartakan situs-situs kuno yang jauh dari rawatan. Peneliti negeri sendiri juga belum merambah kawasan ini dengan serius. Kegiatan ekonominyapun jalan di tempat, kegiatan industri perikanannya megap-megap.
Padahal dari seorang pemilik losmen kelas Melati yang saya kenal dalam suatu acara makan siang dengan Parpoda, organisasi kekerabatan marga Pohan, saya mendengar kalau Rumah Putih Kesultanan Barus dimana kakek Zainul Arifin pernah memerintah sudah musnah ditelan banjir. Sedangkan lokasinya dulu persis di sebelah losmen yang di kelolanya. 

Saya lalu mengkhayal bakal ada Papan Nama memasuki kota bertuliskan: Selamat Datang di Kota Barus, Kota Kelahiran Pahlawan Kemerdekaan Nasional KH ZAINUL ARIFIN POHAN. Sedangkan di Museum Barus terdapat Pojok Kahaza Pohan menampilkan sejarah Pahlawan Nasional Putra Barus tersebut berupa display foto-foto dan memorabilia lainnya. Mungkinkah? Bagaimana ya menyampaikan ke Ibu Bupati Hj. Ernawati Pohan?