Total Pageviews

Monday, December 17, 2018

Bulan Madu Resmi Putra Mahkota

Oleh: Ario Helmy

 

Di era kepemimpinan Presiden Sukarno, KH Zainul Arifin dari Partai NU dan istrinya Ibu Hamdanah Arifin seringkali mengikuti acara-acara protokoler di dalam dan di luar negeri, entah itu sebagai Ketua Parlemen maupun Wakil Perdana Menteri.
Pertemuan-pertemuan bersejarah tersebut tersimpan rapi dalam Arsip Negara berbentuk foto atau video tanpa suara. Juga ternyata banyak sekali yang masih disimpan sebagai koleksi keluarga besar KH Zainul Arifin.
Salah satu foto bersejarah yang baru-baru ini berhasil ditemukan ialah foto kunjungan Kaisar Jepang, Akihito ke Indonesia yang kala itu masih sebagai Putra Mahkota Tahta Bunga Seruni. Akihito didampingi Putri Michiko tampak bersalaman dengan KH Zainul dan Ibu Hamdanah Arifin dalam acara perjamuan kenegaraan di Istana Negara.

PUTRA MAHKOTA PERANG

Akihito lahir 23 Desember 1933. Namun baru pada 10 November 1951 ia resmi dilantik oleh Kaisar Hirohito sebagai Putra Mahkota. Dari situ jelas bahwa Akihito baru berusia 11 tahun ketika Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dia ditahbiskan sebagai Putra Mahkota 6 tahun sesudah Indonesia merdeka dalam usia 17 tahun.

Dalam usia 19 tahun tugas pertama Putra Mahkota adalah menghadiri Upacara Penobatan Elizabeth II menjadi Ratu Inggris pada 2 Juni 1952 mewakili ayahandanya Sang Kaisar. Sepanjang masa kecilnya Akihito sempat mengalami masa Perang Dunia II dimana bapaknya dipandang sebagai tokoh yang ikut bertanggung jawab atas berlangsungnya Perang Dunia yang mengerikan itu.

MENIKAHI PEREMPUAN JELATA

Pangeran Akihito melanggar aturan adat kekaisaran Jepang dengan menikahi wanita yang bukan dari kalangan bangsawan, Michiko Shoda yang setahun lebih muda. Pernikahan keduanya berlangsung pada 10 April 1959. Tak lama setelah perkawinan agung dilaksanakan, Kaisar Hirohito memerintahkan Putra Mahkota dan Putri Michiko untuk melakukan perjalanan resmi keliling dunia mengunjungi 37 negara termasuk bekas jajahan Jepang, Republik Indonesia. Di Indonesia, Presiden Sukarno mengadakan sambutan meriah dan megah atas kedatangan Pangeran Akihito dan Putri Michiko.

Akihito resmi menjadi Kaisar Jepang ke 125 pada 12 November 1990 usai masa berkabung wafatnya Kaisar Hirohito pada 7 Januari 1989. Kini, setelah hampir 28 tahun menduduki tahta Bunga Seruni, dikabarkan Kaisar Akihito akan mengundurkan diri karena komplikasi penyakit kanker prostat dan jantung. Akhir tahun ini konon Putra Mahkota Naruhito akan menggantikan Akihito sebagai Kaisar Jepang ke 126. Lagi-lagi ini merupakan sejarah baru bagi Jepang, dimana belum pernah sebelumnya Kaisar turun tahta semasa masih hidup.

Sunday, December 16, 2018

Idulfitri di Tengah Krisis Kabinet 

Tidak selamanya solat Idul Fitri dilaksanakan Presiden Sukarno di kenyamanan halaman Istana Negara. Beberapa kali solat Id di langsungkan di Lapangan Banteng sehingga bisa lebih banyak lagi umat dari pelbagai lapisan masyarakat dapat mengikuti solat berjamaah. Hari Raya penutup bulan suci Ramadhan yang jatuh pada 14 Juni 1953 juga dilaksanakan di Lapangan Banteng. 

Ditengah situasi politik yang lumayan menegangkan karena belum juga terbentuk Kabinet baru pengganti Kabinet Wilopo. Namun datangnya Idul Fitri tetap harus diantisipasi fihak Dewan Keamanan Presiden (DKP) dengan penuh kewaspadaan. Beberapa anggota DKP non- muslimpun terlibat di dalamnya.


NEGARA TANPA KABINET
Kabinet Wilopo didemosioner Sukarno berdasar Keppres RI no.99 tanggal 3 Juni 1953 bertepatan dengan 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Tadinya, Ki Mangunsarkoro dari PNI dan Moh. Roem dari Masyumi ditugasi membentuk kabinet baru. Keduanya gagal bekerjasama dengan partai-partai lain hingga akhirnya Presiden menunjuk Burhanuddin Harahap (Masyumi) sebagai pengemban (caretaker). Harahap juga gagal hingga datangnya Idul Fitri 1372 H yang jatuh pada hari Minggu, 14 Juni 1953.
Dalam situasi itulah solat Idul Fitri diselenggarakan di Lapangan Banteng. Tidak tanggung-tanggung DKP membentuk tim pengamanan Presiden yang terdiri dari petugas muslim dan non-muslim. Yang mengabadikan foto kegiatan solat itu sendiri adalah seorang Kristen. Sedangkan, petugas keamanan yang berpakaian sipil dan mengitari Presiden di sela-sela umat yang solat ada yang beragama Hindu.
Untunglah, tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada saat itu.
Dari foto dapat dilihat Presiden Sukarno solat tidak tepat di belakang Imam. Di sebelah kanannya adalah Wakil Ketua DPR KH Zainul Arifin dari Partai NU. Kelak, setelah 58 hari krisis kekosongan pemerintahan sejak Kabinet Wilopo bubar, Zainul Arifin akan dilantik sebagai Wakil Perdana Menteri (Waperdam) dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I pada 30 Juli 1953. Itulah pertama kali dalam sejarahnya, politisi NU mendapatkan jabatan tertinggi di lembaga eksekutif. Dua orang kader Partai NU lainnya yang juga duduk sebagai menteri adalah KH Masykur (Menteri Agama) dan Muhammad Hanafiah ( Menteri Agraria).

Saturday, December 15, 2018

Catatan Tragis Presiden Cina



Oleh: Ario Helmy

Selama setengah bulan dari 30 September hingga 14 Oktober 1956 KH Zainul Arifin dan istri, Nyai Hamdanah Arifin ikut serta dalam rombongan Presiden Sukarno melakukan kunjungan kenegaraan ke Cina. Rombongan disambut dengan upacara megah sejak ketibaan di Bandar Udara. Kunjungan juga padat berisi acara tinjauan ke tempat bersejarah dan proyek pembangunan yang memang sedang gencar dilakukan pemerintah Cina.LADIES PROGRAM
Karena kali itu anggota rombongan kecil Presiden Sukarno didampingi istri masing-masing, ibu-ibu pejabat dari Indonesia dibuatkan acara tersendiri yang langsung di koordinir oleh Jian Qing, istri keempat Mao Zhedong yang sebelumnya adalah seorang artis terkenal China.
"Istri Mao cantik dan sangat ramah," kenang Nyai Hamdanah kepada keluarga suatu ketika, "Rakyatnya sangat mencintainya."
Setelah acara audiensi di Istana Terlarang di Beijing, rombongan istri tamu negara dibawa berkunjung ke sekolah, pabrik tekstil modern serta pembangunan dam pembangkit listrik tenaga air.
REHABILITASI PRESIDEN
Dalam foto yang masih tersimpan dalam koleksi keluarga, tampak Nyai Hamdanah Arifin sedang bersalaman dengan orang ketiga di Cina saat itu (setelah Ketua Mao dan Perdana Menteri Zhou En Lai), Liu Shoqi. Dikemudian hari Liu menjabat sebagai Presiden serta disiapkan oleh Mao sendiri sebagai calon penggantinya.
Namun pada tahun 1960-an Shoqi mulai bersimpang jalan dengan Mao Zhedong, bahkan terang-terangan menentangnya. Pada 1968, dia mulai menghilang dari publik Cina dan dicap sebagai pengkhianat bangsa. Liu meninggal karena perlakuan buruk pemerintah pada 12 November 1969. Tetapi, pada tahun 1980 pemerintahan Deng Xiaoping merehabilitasi namanya dan memberikan penghormatan kenegaraan anumerta baginya.


Friday, December 14, 2018

Peringatan Hari Lahir KH Zainul Arifin Ke 109

Oleh: Ario Helmy

 

Minggu jam 10 pagi, 2 September 2018, di Taman Makam Pahlawan Nasional RI, keluarga besar pahlawan kemerdekaan Indonesia KH Zainul Arifin berziarah untuk berdoa dan melakukan tabur bunga dalam rangka peringatan hari lahir Zainul Arifin ke 109. Acara tersebut memulai rangkaian kegiatan Bulan KH Zainul Arifin (disingkat Kahaza) yang akan berlangsung hingga 23 September yad.

PUTRA SULTAN BARUS
Dalam acara Tabur Bunga tersebut dibacakan riwayat hidup (manaqib) Kahaza yang lahir hari Kamis, 2 September di Barus, Tapanuli Tengah. Ibunya perempuan ningrat Mandailing asal Kota Nopan bernama Siti Baiyah Nasution sedangkan ayahandanya, Sutan Ramali Pohan adalah putra sulung Sultan Barus ke 20, Tuangku Raja Barus Sutan Syahi Alam Pohan.
Zainul menamatkan sekolah dasar Belanda HIS di Sungai Penuh, sebuah kota di kaki gunung Kerinci di Jambi. Selama di sekolah dasar Arifin juga mengaji di surau dan memperdalam pencak silat. Selain itu, dia juga aktif berlatih seni pertunjukan Stambul Bangsawan. Usai sekolah dasar, Zainul Arifin melanjutkan ke sekolah guru Normaal School di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Ayahandanya wafat ketika Zainul baru saja menyelesaikan pendidukannya di Normaal School. Dalam usianya yang baru 16 tahun, dia kemudian memutuskan hijrah ke Batavia.

MENGAJI NU
Di Batavia, Arifin sempat bekerja di pemda (gemeente) sebagai juru tulis di perusahaan air minum berkantor di Pejompongan. Zainul Arifin juga sempat menjadi guru SD di Jatinegara dan berkiprah sebagai seniman seni pertunjukkan samrah, sebelum akhirnya bersama-sama Jamaludin Malik masuk sebagai anggota GP Ansor untuk memperdalam mengaji serta mengikuti pelatihan dakwah Ansor. Sesudah menjadi dai untuk kawasan Batavia dan Jawa Barat, diikuti oleh perkenalannya dengan KH Wahid Hasyim, Zainulpun mulai aktif di NU. Sebentar saja dia sudah dipercaya sebagai Ketua Majelis Konsul NU di Batavia.
Wahid Hasyim kemudian menariknya untuk aktif di bidang Pengembangan Politik NU. Zainul Arifin ikut mewakili NU di MIAI dan sesudahnya Masyumi. Di akhir masa pendudukan Jepang, dia ditunjuk sebagai komandan pasukan panglima santri Hizbullah dan terjun langsung di garis depan dalam Pertempuran 10 November 1945. Sesudahnya selama Perang Kemerdekaan 1946 - 1949 Arifin tetap memegang tongkat komando Hizbullah selama Agresi Militer I dan II hingga akhirnya Belanda mengakui kedaulatan RI pada 1950.

DI PARLEMEN DAN DI KABINET
Setelah pengakuan kedaulatan, Zainul Arifin duduk di parlemen sebagai Ketua Seksi Pertahanan di Badan Pejerja (BP) Komite Nasional Indonesia Pusat. Dia aktif sebagai anggota parlemen mewakili NU dalam Fraksi Masyumi hingga akhirnya NU berpisah dari Masyumi dan membentuk Fraksi NU yang diketuainya pada 1952.
Setahun sesudahnya, Zainul duduk sebagai Wakil Perdana Menteri Kabinet Ali Sastroamijoyo I (1953 - 1955) yang sukses menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika. Setelah kabinet ini bubar, dia kembali ke parlemen hasil Pemilu 1955 sebagai wakil ketua. Tak lama setelah terjadinya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Arifin kemudian diangkat sebagai Ketua DPRGR pada 1960.
Dua tahun sesudahnya, 14 Mei 1962 saat sedang berlangsungnya solat Idul Adha terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno yang justru melukai Zainul Arifin. Sepuluh bulan lamanya Zainul harus keluar masuk rumah sakit dan tidak pernah bisa benar-benar pulih benar. KH Zainul Arifin wafat pada 2 Maret 1963 dan dimakamkan di Kalibata sebagai Pahlawan Nasional berdasar SK Presiden RI No.35/4 Maret 1963.

BULAN KAHAZA
Memperingati hari kelahiran KH Zainul Arifin yang ke 109 tahun ini, Nooralamsyah Arifin mewakili keluarga besar Kahaza mengungkapkan pelaksanaan Bulan Kahaza berisi agenda kegiatan menginventarisir dokumen-dokumen dan foto-foto bersejarah mengenai Zainul Arifin, menginventarisir perkembangan wakaf Mesjid dan Pesantren Ar-Rahimiyah di Semplak Bogor, serta puncaknya meluncurkan laman KH Zainul Arifin di sosial media dan internet, memperkenalkan Yayasan Zainul Arifin Hamdanah (ZAH) dan soft launching buku Catatan Sejarah dan Percikan Pemikiran KH Zainul Arifin.
"Puncak acaranya Insya Allah akan berlangsung dalam Islamic Expo 2018 di Balai Sidang Jakarta pada 21 - 23 September 2018, akhir bulan ini," Nooralamsyah mengakhiri keterangannya.

Tuesday, September 4, 2018

DISKUSI BUKU BIOGRAFI KH ZAINUL ARIFIN DI PERPUSNAS


Bapak KH As'ad Said Ali tiba di 
Lantai 4 Perpustakaan Nasional RI sebagai Pembicara Utama dalam Diskusi Buku Biografi KH Zainul Arifin Pohan: Panglima Santri, Ikhlas Membangun Negeri (Pustaka Compass, 2015) sebagai bagian dari Perpusnas Expo 2018, hari Minggu 13 Mei 2018. Kiai As'ad di terima pula oleh Ibu Lily Wahid mewakili keluarga besar KH Wahid Hasyim.







SAMPUL BUKU BIOGRAFI KH ZAINUL ARIFIN POHAN (Edisi Revisi)




LANGLANG BUANA:ANTARA AS DAN US(1)

Oleh: Ario Helmy
KH Zainul Arifin ikut serta dalam rombongan Presiden Sukarno melakukan kunjungan kenegaraan ke Amerika Serikat sebanyak dua kali: pada tahun 1956 dan tahun 1960. Kedua lawatan berlangsung selama masa pemerintahan Presiden AS ke 34, Dwight D. "Ike" Eisenhower ditengah-tengah berlangsungnya Perang Dingin antara kubu Amerika Serikat (AS) dan Kubu Uni Soviet (US). Kunjungan pertama bermaksud untuk menjelaskan sikap Indonesia yang lebih memilih untuk tidak memilih di antara ke dua kubu berseberangan itu, non-blok. Sedangkan kunjungan tahun 1960 beragenda utama Pidato Sukarno di depan Sidang Umum PBB bertujuan menggalang dukungan untuk Pembebasan Irian Barat (kini Papua). Meski kedua kunjungan tidak terlalu berhasil secara politis, namun secara psikologis penampilan Sukarno di Negeri Paman Sam tersebut berhasil mencuri perhatian publik Amerika lewat liputan media massa yang gegap gempita.

LIMA BULAN "ROAD SHOW"

Sepanjang tahun 1956, rombongan Presiden Sukarno menghabiskan sekira 5 bulan langlang buana untuk kepentingan menyampaikan hasil-hasil Konferensi Asia Afrika yang berlangsung sukses di Bandung, setahun berselang. Selain itu, rombongan bermaksud untuk melihat dari dekat keadaan sebenarnya dari bangsa-bangsa yang berkelompok terpisah masing-masing dalam kubu AS dan kubu Uni Soviet. Perjalanan muhibah pertama berlangsung dari pertengahan Mei hingga akhir Juni 1956 meliputi kunjungan ke: Amerika Serikat, Kanada, Italia, Tahta Suci Vatican, Jerman, dan Swiss.
Rombongan tiba di AS 16 Mei 1956 dan menghabiskan 19 hari kunjungan. Pembicaraan bilateral antara Sukarno dan Eisenhower tidak berlangsung mulus karena pemerintahan Eisenhower yang sangat membenci komunisme (baca: Uni Soviet) keburu curiga negara-negara di kawasan Asia Tenggara cenderung condong ke Uni Soviet. Menteri Luar Negeri, John Dulles dengan tajam menyatakan sikap netral adalah suatu sikap yang "tidak bermoral". Dikecam begitu rupa, Sukarno masih saja menunjukkan sikap bersahabat namun tetap tegas.
Pembawaan Presiden Indonesia yang anggun ini kemudian merebut perhatian media massa dan rakyat AS pun terpesona atas kharisma Sukarno. Majalah TIME memuat gambar Sukarno di halaman sampul, sementara majalah LIFE memuat gambar-gambar intim saat rombongan Presiden melakukan shalat di Mesjid di Washington DC. Bukan itu saja, kehangatan Sukarno sebagai Bapak ditampilkan lewat penampilan foto-fotonya bercengkerama dengan putra sulungnya, Guntur Sukarnoputra yang waktu itu baru berusia 12 tahun di Disneyland, Annaheim, California. Ajang wahana permainan keluarga yang baru dibuka setahunsebelumnya.
Ditambah lagi dengan acara jamuan makan di Hollywood yang menghasilkan foto Presiden dengan Gadis Sampul majalah Playboy pertama dan artis film paling terkenal di dunia pada masa itu: Marilyn Monroe, tampak begitu glamor. Presiden Sukarno juga berpidato di depan Kongres AS dan menerima gelar kehormatan Doktor (Honoris Causa) dari Universitas Columbia di New York.
Zainul Arifin ikut serta dalam rombongan dalam kapasitas sebagai tokoh Partai NU dan bagian dari Kabinet Ali-Arifin penyelenggara Konferensi Asia Afrika serta sebagai Wakil Ketua DPR hasil Pemilu Perdana Indonesia yang dipuji-puji pemerintah AS karena berlangsung tertib dan aman. Berbeda dengan kunjungan ketika mengikuti rombongan Presiden Sukarno ke Uni Soviet yang memuat sebuah wawancara tentang kehidupan orang-orang Islam di Negeri Beruang Merah, selama di AS tidak ditemukan catatan mengenai komentar Arifin ke media massa. Namun beberapa foto masih dapat dilacak, berupa foto-foto ketika bersama Sukarno melakukan sholat di Mesjid dan Islamic Center yang diresmikan sendiri oleh Presiden Eisenhower pada 1954. Foto lain menunjukkan Zainul bergambar bersama mahasiswa Universitas Columbia saat menyaksikan Sukarno dianugerahi gelar DR (Honoris Causa) bidang hukum.
Sebelum meninggalkan benua Amerika, rombongan Presiden Sukarno menyempatkan diri mengunjungi Kanada. Dari sana, perjalanan dilanjutkan menuju Eropa Barat meliputi: Italia, Tahta Suci Vatican, Jerman dan akhirnya Swiss. Di negeri Coklat dan Jam Swiss, Zainul Arifin berkesempatan bertemu dan berfoto bersama putra sulungnya, BS Arifin yang kala itu sedang menyelesaikan pendidikan doktoralnya di bidang Ekonomi. Di kemudian hari, BS Arifin bekerja di Departemen Luar Negeri dengan jabatan terakhir sebagai Sekjen HELN (Hubungan Ekonomi Luar Negeri). BS Arifin dimasa hidupnya pernah tiga kali diutus pemerintah RI menjadi Duta Besar masing-masing di Kerajaan Iran (semasa Shah Iran berkuasa), Kerajaan Inggris dan akhirnya di Swiss.
Rombongan kembali ke tanah air akhir Juni 1956, Sekira dua bulan kemudian, dalam kurun 26 Agustus hingga 16 Oktober 1956, KH Zainul Arifin termasuk dalam rombongan kenegaraan Presiden Sukarno menjelajahi: Uni Soviet, Austria, Cekoslowakia dan Mongolia. Lagi-lagi Presiden Sukarno sukses menyita simpati masyarakat negeri-negeri Komunis. Tapi ceritanya sudah berbeda pula.