Total Pageviews

Monday, December 26, 2022

KH ZAINUL ARIFIN DAN PRESIDEN SUKARNO KE ITALIA DAN SOWAN PAUS

Ario Helmy

Dalam rangkaian perjalanan panjang antara negara-negara Blok Barat dan Blok Timur pada 1956, dari benua Amerika, rombongan kenegaraan RI menuju Italia, negara Eropa pertama dikunjungi presiden pertama Indonesia, Sukarno. Di negara itu, rombongan mengadakan kunjungan resmi kenegaraan, termasuk pula acara audiensi 30 menit dengan Sri Paus di Tahta Suci Vatican, selama seminggu, 10 - 17 Juni 1956.

Menurut Willem Oltmans wartawan koran Belanda paling terkemuka De Telegraaph dalam bukunya, "Sukarno Sahabatku" (Pustaka Harapan, 2001), Kerajaan Belanda sangat kecewa karena sekutu pentingnya di NATO dan MEE (Masyarakat Ekonomi Eropa) menyambut musuh Belanda Sukarno dengan penuh penghormatan. Belanda tahu betul kalau perjalanan lintas benua rombongan kenegaraan bekas jajahannya itu utamanya dalam rangka menggalang dukungan di PBB guna membebaskan Irian Barat dari cengkraman Belanda. 

KUNCI EMAS

Rombongan kepresidenan mendarat di bandara Ciampino di ibukota Roma pada 10 Juni 1956. Presiden Italia, Giovanni Gronchi menghelat upacara kehormatan kenegaraan dalam menyambut mitranya dari negara Asia Tenggara yang baru 10 tahun merdeka itu. 

Kemudian dari atas mobil terbuka rombongan memasuki kota Roma dimana masyarakat setempat berderet di sepanjang jalan ikut menyambut. Berikutnya, arak-arakan berhenti untuk menerima sambutan walikota Roma, Salvatore Rebochini yang menyerahkan kunci emas kota sebagai pengakuan pada Sukarno sebagai warga kehormatan. 

Dari situ pasukan pengiring Tamu Negara berganti dengan pasukan berkuda yang mengawal Sukarno dan rombongan menuju penginapan Castel Gandolfo yang adalah kediaman resmi musim panas Paus di Kota Roma. 

Begitu megahnya sambutan pemerintah Italia terhadap rombongan Sukarno, pemerintah Belanda menyerukan koran-koran Belanda untuk tidak memuat berita mengenainya. 

DARI SENI HINGGA MILITER

Jadwal kunjungan Presiden Sukarno dan rombongan selama 7 hari berlangsung padat. Sebagai pecinta seni, tuan rumah menyiapkan perjalanan-perjalanan yang meliputi kunjungan ke museum2 sejarah dan seni yang sangat di nikmati Tamu Negara. 

Tidak ketinggalan, peninjauan ke pabrik mobil Fiat yang kala itu merupakan pabrik mobil terbesar di dunia setelah General Motors dan Ford di AS. 

Presiden Sukarno juga diantar ke Naples guna menyaksikan perkembangan teknologi pembuatan kapal-kapal perlengkapan Angkatan Laut. 

CIUM CINCIN

Bambang Wijanarko dari Dewan Keamanan Presiden (DKP) tampak membungkuk di hadapan Paus Pius XII dan mencium cincin Bapa Suci dalam video acara audiensi rombongan kenegaraan RI ke Tahta Suci di Kota Vatikan. Presiden memperkenalkan Wijarnako sebagai penganut Katolik. Sedangkan Dr. J. Leimena diperkenalkan sebagai pemeluk Kristen. Sukarno sendiri adalah presiden Muslim dari negara mayoritas Muslim pertama yang diterima Paus. Tidak ketinggalan, Sukarno memperkenalkan KH Zainul Arifin sebagai tokoh Muslim terkemuka Indonesia. Paus Pius XII menganugerahi Presiden dengan medali tertinggi kepausan, Order of Pope. Sedangkan seluruh anggota rombongan menerima medali kepausan. 

Dari Italia, rombongan menuju Jerman mengendara kereta api. Membuat Kerajaan Belanda tambah masygul karena sekutunya yang inipun menyambut Sukarno dengan penuh penghormatan.




Sunday, November 13, 2022

SOEKARNO DAN ELIZABETH

Oleh: Ario Helmy

Duta besar RI pertama untuk Britania Raya, Subandrio, ikut berjalan dalam rombongan korps diplomatik yang dengan dukacita mengiringi kereta jenazah Raja George VI yang wafat dalam tidurnya pada 15 Februari 1952. Raja segera digantikan oleh Putri Mahkota Elizabeth Mary yang pada hari kematian ayahnya sedang berada di Kenya, Afrika, karena harus berkunjung ke negara bekas jajahan Inggris di Benua Afrika yang sedang bergolak memperjuangkan kemerdekaan penuh dari Kerajaan Inggris. Namun Raja George malah meninggal dunia pada 6 Februari 1952. Sejak hari itu pula Elizabeth mulai menjadi Ratu Elizabeth II yang memimpin Monarki Britania Raya menggantikan bapaknya.

GAGAP KARENA KIDAL

Seperti juga cicitnya Putra Mahkota William, Pangeran Wales, Raja George VI terlahir kidal dimana kala itu hal tersebut dianggap sebagai aib. Sejak kecil Raja dipaksa untuk makan, menulis dan melakukan hal-hal lainnya dengan tangan "manis" alias tangan kanannya. Hal ini menyebabkan George VI tumbuh dewasa sebagai pria canggung yang bicaranya tergagap-gagap. Yang Mulia sampai dipanggilkan guru pribadi khusus untuk melatihnya bicara tanpa jeda yang tidak perlu. Suatu hal yang dicoba ditekuninya namun tidak sepenuhnya berhasil. George VI kemudian menjadi seorang perokok berat yang membuatnya terkena kanker paru-paru kronis menjelang wafatnya.

TANPA INGGRIS DI EROPA

Elizabeth II baru dimahkotai sebagai Ratu Inggris lebih dari setahun kemudian. Tepatnya, 2 Juni 1953. Menlu Haji Agus Salim  mewakili pemerintah RI dalam upacara permahkotaan Ratu Elizabeth II.

Selama masa kepemimpinan Presiden Sukarno, Presiden RI tidak pernah mengunjungi London. Hubungan dengan Inggris memang terpengaruh dengan ketidaksukaan pemerintah Kerajaan Belanda ketika Rombongan kenegaraan dari Indonesia wara-wiri di Benua Eropa dan disambut dengan akrab oleh banyak negara yang mestinya lebih menghormati Belanda yang waktu itu masih ingin memisahkan Irian Barat dari Nusantara.

Tak sampai 2 bulan kemudian, Kabinet Ali-Wongso-Arifinpun (30 Juli 1953) terbentuk dimana KH Zainul Arifin dari Partai NU menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri (Waperdam). Tahun 1956, saat mana KH Zainul Arifin selaku Wakil Ketua MPR ikut dalam rombongan Presiden Sukarno ke AS, Kanada dan Eropa Barat, banyak negara Eropa dikunjungi kecuali Belanda dan Inggris. Rombongan memang membawa misi untuk meminta dukungan agar Irian Barat dapat tetap terintegrasi sebagai bagian dari NKRI.

Tentang Inggris Sukarno pernah berujar, "Aku sudah ke mana-mana kecuali ke London, sekalipun Ratu Inggris sudah dua kali mengundangku untuk berkunjung,” diungkap dalam otobiografinya yang disusun Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

UNDANGAN TERHALANG

Pada 28 Agustus 1961, Ratu Elizabeth II mengundang Sukarno mengadakan kunjungan kenegaraan ke London. Sukarno menyatakan bersedia tandang. Diaturlah rencana kunjungan kenegaraan ke Inggris pada Mei 1962. Pengumuman resmi pun diumumkan. Lagi-lagi Ratu Belanda yang masih kerabat Yang Mulia Ratu Elizabeth II mengritik rencana tersebut.

Sebenarnya, Ratu Elizabeth tidak pernah sampai membatalkan undangan resminya hanya karena ditegur Ratu Belanda. Namun, pada 21 April 1962, Sukarno melayangkan surat permintaan maaf kepada Ratu Elizabeth II. Karena situasi genting di dalam negeri, menyusul serangan Belanda terhadap armada Angkatan Laut Indonesia di Laut Arafuru pada awal tahun. Pada Maret 1962, perundingan yang dimediasi Amerika Serikat macet sehingga Indonesia dan Belanda terancam perang.

Ratu Elizabeth membalas surat Sukarno: “Menteri-menteri saya dan saya sendiri telah siap sedia menyambut kedatangan Yang Mulia, dan untuk memperlihatkan kepada Yang Mulia perihal negara kami, akan tetapi saya percaya bahwa kita akan mempunyai kesempatan untuk ini pada waktu yang lain,” sebagaimana dikutip Ganis Harsono dan dimuat dalam historia.id. Hingga kedua pemimpin wafat rencana itu tidak pernah terwujud.

Requiescat in pace, Her Majesty the Queen Elizabeth II


Friday, November 11, 2022

Kunjungan Kenegaraan Presiden Dewan Negara Polandia Alexander Zawadzki ke Indonesia 1963


Bulan Mei 1962 beberapa minggu setelah terjadi penembakan percobaan pembunuhan terhadap Presiden saat sedang melaksanakan solat Idul Adha yang pelurunya mengenai KH Zainul Arifin, 14 Mei 1962, Presiden Sukarno melakukan kunjungan kenegaraan ke negeri komunis Polandia. Di sana Sukarno diterima Presiden (Ketua Dewan Negara) Polandia Alexander Zawadzki. Kurang dari setahun kemudian, awal 1963, Zawadzki balas berkunjung ke IndonesiaIndonesia dan mengunjungi Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Bali. 

KH Zainul Arifin sebagai Ketua DPR ikut menyambut Presiden Polandia tersebut bersama para pejabat tinggi dan tertinggi negara lainnya. Dalam foto Zainul Arifin tampak menurun berat badannya, karena memang sejak terkena tembakan beberapa bulan sebelum itu, kesehatannya tidak pernah benar-benar pulih. Tidak sampai 3 bulan setelah kunjungan Zawadzki KH Zainul Arifin wafat. Tepatnya, 2 Maret 1963.



Saturday, October 22, 2022

PERAN KH ZAINUL ARIFIN SEBAGAI PENGEMBAN RESOLUSI JIHAD

(Ario Helmy) 

"Hanya dengan adanya pemuda-pemuda yang berani berjuang saja, keluhuran bangsa dapat tercapai." (Panglima Hizbullah KH Zainul Arifin, Harian Tjahja, 18 Januari 1945, p.2)

Resolusi Jihad yang melatar belakangi peringatan Hari Santri nasional memiliki sejarah kejuangan penting dalam sejarah bangsa dan negara ini. Di sini akan dikupas keterlibatan Pahlawan Nasional KH Zainul Arifin kelahiran Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, sebagai salah seorang pengemban isi Resolusi Jihad yang difatwakan Hadtatusyekh KH Hasyim Asy'ari.

Panglima Hizbullah

Resolusi Jihad dikeluarkan pada 22 Oktober 1945 sebagai fatwa berdasar rapat besar konsul-konsul NU se-Jawa dan Madura di Kantor PBNU Jalan Bubutan Surabaya, Jawa Timur. KH Zainul Arifin hadir sebagai Konsul NU Jakarta sekaligus Ketua Markas Tinggi (Panglima) Hizbullah. Martin van Bruinessen dalam bukunya  NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994) mencatat, pada tanggal 21 dan 22 Oktober 1945, wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dan menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad (perang suci) melawan penjajah. Bruinessen juga melampirkan naskah lengkap Resolusi Jihad yang menerakan Resolusi ditujukan kepada Presiden Sukarno, Panglima Besar Sudirman, Markas Tinggi Hizbullah dan Markas Tinggi Sabilillah.

Resolusi Jihad  secara umum berisikan dua kategori dalam berjihad:

"Berperang menolak dan melawan penjajah itu fardu ain [harus dikerjakan tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempuan, anak-anak, bersenjata atau tidak] bagi yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh. Bagi yang berada di luar jarak lingkaran tadi, kewajiban itu jadi fardu kifayah [yang cukup dikerjakan sebagian orang Islam saja]," bunyi dua kategori jihad dari fatwa tersebut.

Sebagai Panglima Hizbullah, Zainul Arifin memimpin pasukan Hizbullah dalam peperangan 4 hari di Surabaya, November 1945. Para kiai yang tergabung dalam Sabilillah juga ikut mengatur jalannya pertempuran dengan kobaran semangat yang menyala-nyala.

Tuesday, June 7, 2022

KETIKA DJAMALUDDIN MALIK BICARA FILM DI JEPANG DENGAN BAHASA PADANG



(Abdullah Zuma, NU Online) 

Hari ini 8 Juni, 51 tahun wafatnya H. Djamaluddin Malik. Dia adalah tokoh NU, pengusaha, politikus, dan produser film pendiri Perseroan Artis Indonesia (Persari). 

Ayah Camelia Malik ini lahir di Padang, Sumatera Barat 13 Februari 1917. Wafat di Munchen, Jerman, pada usia di 53 tahun, saat berobat penyakit komplikasi yang dideritanya di kota itu. 

Pada masa kecilnya, pada situasi penjajahan Belanda, ia turut serta dengan orang tuanya hijrah ke Jakarta. Di kota inilah, pada masa mudanya, ia pernah aktif di GP Ansor Kebun Sirih. 

Di kota ini pula, ia mengembangkan bakat wirausaha yang membawanya menjadi seorang pengusaha di kemudian hari. Pada saat yang sama, dia memiliki perhatian besar kepada kesenian, terutama teater. Dia mendirikan kelompok sandiwara Panca Warna. 

Aktivitasnya pada kelompok kesenian pada masa revolusi fisik, terekam pada buku karya KH Saifuddin Zuhri, Guruku "Orang-orang dari Pesantren": 

"Tadinya anak buah saya bermaksud, jika sudah sampai di daerah Republik, rombongan akan membubarkan diri. Lalu kami menerjunkan diri dalam badan-badan perjuangan. Ada yang di Hizbullah (pimpinan KH Zainul Arifin) ada yang barisan pemberontakan rakyat (Pimpinan Bung Tomo) dan sebagainya.”

Kiai Saifuddin menuliskan bahwa orang yang menjadi saksi atas ucapan Djamaluddin Malik itu adalah KH Fattah Yasin, laskar Hizbullah yang bergabung ke Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), dirinya dan KH Wahid Hasyim.   

Menurut Kiai Saifuddin, percakapan itu terjadi di Yogyakarta saat ibu kota pindah dari Jakarta sejak 4 Januari 1946 hingga 28 Desember 1949. Saat itu wilayah Indonesia menyempit akibat perjanjian Renville pada 8 Desember 1947. 

Aktif di kelompok teater, Djamaluddin sepertinya merasa tidak berjuang untuk Tanah Airnya. Karena itulah, ia bersama kelompoknya berniat menetap di Yogyakarta dan akan turut mengangkat senjata untuk terjun ke kelaskaran dan tentunya meninggalkan pentas sandiwara.

Namun, niatnya itu ditolak KH Wahid Hasyim, ayahnya Gus Dur itu. Ia punya pandangan lain tentang perjuangan. Menurutnya, berjuang tidak harus dengan senjata atau kelaskaran. Perlu ada yang berjuang di di berbagai lapangan dan bidang, termasuk dalam kesenian. 

Lagi pula, menurut Kiai Wahid, anggota kelaskaran sudah sangat banyak, sementara orang-orang yang berjuang lewat seni, khususnya sandiwara, masih sangat kurang. Padahal itu amat penting dalam perjuangan besar.

Menurut Kiai Wahid, dalam sebuah pementasan sandiwara, rakyat bisa bertemu dan berkumpul. Pada saat itu, laskar-laskar bisa menyusup. 

Karena itulah Kiai Wahid menyarankan supaya Djamaluddin segera ke Jakarta yang waktu itu sudah dikuasai Belanda. Kemungkinan besar, kelompok sandiwara tidak akan dicurigai.

Pandangan kiai jenius, putra Rais Akbar NU Hadratusyekh KH Hasyim Asy’ari ini diterima Djamaluddin Malik. Dia pun memantapkan diri dengan berjuang terus lewat kelompok sandiwaranya. 

Tak heran kemudian pada masa kemerdekaan, ia jadi Ketua Umum Lesbumi pertama, sebuah lembaga kebudayaan yang didirikan atas restu para ulama NU pada 28 Maret 1962. Pada masa kepemimpinannya, Lesbumi diperkuat budayawan Usmar Ismail (mendirikan Perfini), Asrul Sani, Anas Ma'ruf, dan lain-lain. 

Selain pernah menjadi anggota DPR RI dari partai NU, menjadi Ketua III PBNU. 

Sisi Lain Djamaluddin Malik
Pada buku "Djamaluddin Malik Melekat di Hati Banyak Orang" yang saya baca tahun lalu, Djamaluddin Malik bagaikan hidup di antara dua dunia yang berbeda. 

Di satu sisi, sebagai orang film, ia hidup bersama para artis dengan segala macam watak dan kebiasaannya. Di sisi lain, sebagai aktivis NU, dia harus bergaul dengan para kiai. 

Situasi semacam ini sering merepotkan pembantu rumah tangga, termasuk istrinya. Misalnya, setelah para artis mengadakan pesta di rumahnya, tiba-tiba para kiai mengabarkan akan berkunjung. Maka mau tak mau Djamaluddin Malik meminta agar seluruh sisa-sisa makanan dan minuman para artis itu dibersihkan. Jangan sampai ketahuan para kiai. Ini pula konon yang menyebabkan perceraian dengan istrinya. 

Ia juga dikenal sebagai orang yang suka membantu. Gampang merogoh kocek untuk para seniman saat dan kiai. Hari ini bisa banyak uang, esok tidak punya sama sekali. Hari ini punya lima sarung, besoknya tak punya sehelai pun. Ia juga termasuk salah seorang yang menjadi donatur peringatan Harlah NU ke-40 di Gelora Bung Karno pada tahun 1966.

Suatu ketika, ia mendapatkan undangan untuk berbicara film di negeri Jepang. Ia ditemani Usmar Ismail. Saat berpidato di hadapan mereka, Djamaluddin Malik malah menggunakan bahasa Padang.  

Usmar Ismail terperanjat atas ulah sahabatnya itu. Tak hanya itu, apa yang dikatakan Djamaluddin Malik pun bukan tentang film, melainkan apa saja diungkapkan dalam bahasa ibunya itu. 

Melihat gelagat kurang baik, Usmar kemudian memperlakukan diri sebagai penerjemah pidatonya ke dalam bahasa Inggris. Padahal tentu saja bukan menerjemahkan karena apa yang dikatakan Djamaluddin Malik tidak berkaitan sama sekali.  

Tentu saja Usmar menjelaskan pandangan-pandangannya tentang film kepada orang Jepang tanpa memperhitungkan perkataan Djamaluddin Malik. 

Atas jasa-jasanya dalam bidang kebudayaan, pemerintah mengukuhkannya sebagai penerima Bintang Mahaputra Kelas II/Adipradhana.

Pabrik Gas Batavia - Jalan KH Zainul Arifin

Reposted from @onbekendphoto Guys! Pabrik Gas di Batavia dibangun pada 4 Desember 1862 di Gang Ketapang (sekarang Jalan KH Zainul Arifin). Pengelolanya diberikan kepada Perusahaan L.J. Enthoven & Co yang dapat konsesi selama 20 tahun.

Pabriknya menempati lahan cukup luas, berbatasan dengan wilayah Tanah Sereal dan kali kecil yang mengalir di sampingnya. Gang Ketapang merupakan jalan pintas dari wilayah Kampung Duri, Roxi, Petojo, dan Jembatan Lima untuk menuju ke wilayah tengah kota (Kebon Jeruk/Sawah Besar, Kota, Pasar Baru, Asem Reges, Pecenongan, dan Harmoni). Hampir separuh sisi kanan Gang Ketapang itulah terletak Pabrik Gas.

Namun pada tahun 1864, entah mengapa, Perusahaan Gas yang berasal dari Den Haag itu diambil alih oleh Netherlands Indies Gas Company, yakni Perusahaan Gas Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1905, Perusahaan ini diambil alih lagi oleh Bataviaasche Electrische Maatschappij (Perusahaan Listrik Batavia), yang memasok kebutuhan gas untuk sebagian wilayah Batavia tengahan saja, setelah itu dikembangkan juga sampai ke Mester Cornelis.

Pada tahun 1950 sampai tahun 1958 perusahaan ini dikelola oleh NV Overzeese Gas en Electriciteit Maatschappij (NV OGEM) The Netherlands Indies Gas Company. Setelah Kemerdekaan, pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi perusahaan dan mengubah namanya menjadi Perusahaan Gas Negara (PN Gas), yang kemudian diubah lagi pada tahun 1965 menjadi Perusahaan Umum ( Perum) Gas Negara. 

Pabrik ini dibangun untuk memenuhi penerangan di beberapa ruas jalan penting dan untuk konsumsi perumahan bagi orang yang mampu.

Subjek Foto: Pabrik Gas Gang Ketapang
Fotografer: Toko K. Shimane
Tahun Foto: 1915
Sumber Foto: MNVW-collectie
Teks: sejarahjakarta.com

#gas #pabrikgas #gangketapang #netherlands #indie #weltevreden #batavia #dkijakarta  

Thursday, May 12, 2022

TMPN KALIBATA DAN KABINET ALI- ARIFIN

(Ario Helmy) 

Kalau kita melihat bendera merah putih dikibar setengah tiang di pelataran Taman Makam Nasional Kalibata, artinya akan ada atau telah dilaksanakan upacara pemakaman dengan tata cara kenegaraan militer penuh terhadap sosok yang telah berjasa kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk para pahlawan nasional, anggota militer, dan pejabat tinggi negara.

LEBIH DARI 7.000

Pemakaman Taman Pahlawan Nasional yang terletak di wilayah Kalibata, Jakarta Selatan, ini sudah menampung lebih dari 7.000 orang korban militer dan veteran dari Perang Kemerdekaan Indonesia. 

Selain itu, Veteran Tentara Kekaisaran Jepang yang tinggal di Indonesia setelah Perang Dunia II atas kehendak bebas mereka sendiri dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia juga dikuburkan di sini.

DARI ANCOL

Dulunya, taman makam Palawan berlokasi di Ancol, Jakarta Utara. Dan, memiliki nama Taman Makam Pahlawan Ancol (TMPA).
Kendati demikian, lahan kosong untuk mengubur para pahlawan nasional pun kian langka. Dibawah pemerintah Kabinet Ali Sastroamijoyo 1, dimana KH Zainul Arifin menjabat sebagai waperdam, Bung Karno pun memerintahkan  pembangunan TMP baru yang kini dikenal sebagai TMPN Kalibata.

Pembangunan TMP Kalibata dimulai 1953 yang dilakukan oleh Zeni Angkatan Darat dengan mengandeng arsitek F Silaban. Proses pembangunannya sendiri terbilang singkat, hanya satu tahun dan diresmikan bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 1954 dimasa Kabinet Ali - Arifin masih memerintah, oleh Presiden Soekarno. 

Pada saat diresmikan,  Jenazah pahlawan atau pejuang pertama yang dimakamkan di TMP Kalibata adalah  Agus Salim pada 5 November 1954.


Sunday, May 1, 2022

Kunjungan Waperdam Cekoslowakia ke DPR 1958



Wakil Perdana Menteri Cekoslowakia disela-sela kunjungan kenegaraannya ke Indonesia pada 25 Januari 1958 menyempatkan berpidato di depan DPR RI dengan Wakil Ketua DPR dari Partai Nahdlatul Ulama (NU) KH Zainul Arifin (duduk di sebelah kanan bawah Foto 1) sebagai tuan rumah. @ Jakarta, Indonesia

Tuesday, March 29, 2022

Sejarah Hari Ini 25 Maret 1975: Raja Arab Saudi Faisal Ditembak Mati

Raja Faisal ditembak mati oleh keponakannya sendiri pada 25 Maret 1975.

Raja Khalid, saudara laki-laki dari raja yang terbunuh, telah menggantikannya atas persetujuan keluarga Kerajaan Saudi. Pangeran Faisal bin Musaed kemudian dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan dan pada Juni 1975 dia dieksekusi atas pembunuhan pamannya, Raja Faisal. Pangeran dipenggal di lapangan umum di Riyadh. 

Motif sang pangeran masih belum jelas. Ada spekulasi bahwa dia berusaha membalas kematian kakak laki-lakinya Khalid, yang meninggal dalam bentrokan dengan pasukan keamanan pada 1966.

Pada saat pembunuhan tersebut terdapat beberapa teori konspirasi meskipun penyelidikan kemudian menemukan bahwa Pangeran Faisal bin Musaed bertindak sendiri. Pangeran Musaed secara resmi dinyatakan gila, menurut penyelesaian yang dikeluarkan oleh kabinet kerajaan setelah pembunuhan Raja Faisal.

Dalam sejarahnya, laman History mencatat bahwa Raja Faisal, putra Raja Ibn Saud, bertempur dalam kampanye militer pada 1920-an dan 30-an yang membantu membentuk Arab Saudi modern.  

Dia kemudian menjabat sebagai duta besar Saudi untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada 1953 dia diangkat menjadi perdana menteri setelah kenaikan kakak laki-lakinya, Saud. Pada 1964, Raja Saud ditekan untuk turun takhta, dan Faisal menjadi penguasa absolut Arab Saudi. Sebagai raja, dia berusaha untuk memodernisasi bangsanya dan memberikan dukungan finansial dan moral untuk upaya anti-Israel di Timur Tengah. 


Waperdam KH Zainul Arifin dan Presiden Sukarno Berangkat Haji

Labbaikallahumma labbaik, labbaika la syarikalaka labbaik, innal hamda wan ni’mata laka wal mula la syarika lak.

Kalau dilihat dari catatan perjalanan haji KH Zainul Arifin dan Presiden Sukarno pada tahun 1955 yang diuraikan oleh Mangil Matowijoyo dalam memoarnya, 'Kesaksian Tentang Bung Karno: 1945 - 1967' itu saya kira itu tata cara haji Tammatu. Bisa ditelusuri bagaimana setelah sambutan formal kenegaraan di Bandara Jeddah rombongan langsung diantar Raja Saud bin Abdulaziz ke Madinah untuk menziarahi makam Rasullah SAW di sana.

Melepas Atribut Kenegaraan
Dari Kairo, Mesir, Presiden Sukarno tiba di Jeddah, Arab Saudi pada 25 Juli 1955, dimana sambutan kenegaraan secara militer dipimpin langsung oleh Raja Saud diselenggarakan lengkap dengan diperdengarkannya lagu kebangsaan kedua negara dan dentuman meriam. Wakil Perdana Menteri (Waperdam) Kabinet Ali-Arifin, KH Zainul Arifin juga disongsong oleh Waperdam Kerajaan Saudi, Pangeran Faisal yang juga adik dari lain ibu Raja Saud.

Usai penerimaan formal, Raja Saud mengantar sendiri rombongan Presiden RI menuju Madinah untuk berziarah ke makam Rasulullah SAW. Mendekati makam dengan berjalan kaki, Raja Saud terkesan demi melihat Sukarno melepas seluruh atribut kenegaraan dari jas kepresidenannya saat makam Rasulullah SAW sudah terlihat.

Terjadi dialog antara Raja dan Presiden, "Mengapa Anda melakukan itu Tuan Presiden?"

Sigap Presiden RI menjawab, "Kita menuju makam Rasul Allah SAW. Tentunya dia lebih tinggi dibandingkan saya dan Anda, Raja!"

Begitu tiba tepat di depan makam Rasulullah, dalam sebuah video dokumenter koleksi Arsip Nasional RI tampak jelas Sukarno menengadahkan kepala dengan linangan air mata. Di sisi kirinya Waperdam Zainul Arifin juga menangis haru. Tepat di belakang keduanya kelihatan Menteri Agama KH Masykur karena sudah sering ke sana sebelumnya. Sedangkan buat Presiden dan Waperdam RI itulah kali pertama (dan ternyata juga yang terakhir kali) keduanya berhadapan dan berdoa langsung di depan makam Utusan Allah Muhammad SAW.

“Lama Bung Karno berdiri mengheningkan cipta, berdoa di samping makam Nabi Muhammad di Madinah itu, sedangkan rombongan yang sangat kecil jumlahnya itu berdiri di belakang, termasuk saya,” tulis Mangil.

"Besoknya, setelah kembali ke Jeddah, rombongan menuju Makkah, kemungkinan besar untuk melakukan Tawaf Qudum atau Tawaf kedatangan. Biasanya dilakukan sebelum berangkat ke Arafah," 

"Kepada keluarga, KH Zainul Arifin menceritakan pengalaman Presiden dan rombongan inti diajak memasuki bangunan Kabah lewat pintu berlapis emas. Di dalamnya dilaksanakan sholat sunnah serupa dengan yang umum dilakukan jamaah biasa di kawasan Hijir Ismail. Usai sholat Raja Saud dan tamu-tamu kenegaraannya mencuci dinding Kabah," kenang Zuraida Fatma salah satu putri Zainul Arifin.

Mangil mencatat setelah itu, kegiatan-kegiatan kenegaraan dilakukan berupa kunjungan formal ke Istana Raja Saud. Presiden Sukarno didampingi oleh KH Zainul Arifin dan KH Masykur melakukan pembicaraan bilateral. Besoknya, giliran Waperdam dan Menag RI mengadakan pembicaraan bilateral di Istana Waperdam Saudi, Pangeran Faisal di Riyadh.

Wukuf di Arafah
Tanggal 29 Juli 1955, tetamu negara dihantar menggunakan mobil khusus untuk Presiden Sukarno berangkat menuju Arafah untuk melakukan wukuf. Kemudian berangkat menuju Muzdalifah senyampang mengumpulkan batu untuk ritual melontar jumrah lalu menuju Mina. 

Dari Mina selesai nafar awal mereka berangkat ke  Tanaim miqat umrah. Karena setelah tawaf qudum boleh tidak melakukan tawaf ifadah melainkan langsung sai haji. Setelah sai haji selesai, rampung pula ritual ibadah haji.

Selama pelaksanaan ibadah haji, Presiden Sukarno memberi masukan berharga bagi Raja Saud mengenai beberapa fasilitas ritual ibadah. Yuke Ardhiati dalam Bung Karno Sang Arsitek (2005), mengulas Sukarno  menyarankan agar jalur sai di Makkah dibagi menjadi dua dan didirikan bangunan dua lantai untuk memuat sebanyak mungkin jamaah melakukan sai.

Sedangkan untuk Padang Arafah, Sukarno mengusulkan agar ditanami pepohonan hijau pohon mindi yang bibitnya didatangkan dari Indonesia. Pemerintah Kerajaan Arab Saudi begitu menghargai sumbang saran Tamu Negara tersebut, Presiden Sukarno, Zainul Arifin dan Kiai Masykur diundang khusus untuk ikut melakukan inagurasi pemugaran Masjid Nabawi di Madinah. 

Mobil Chrysler dan Pedang Emas
Menjelang berakhirnya kunjungan kenegaraan rombongan Presiden RI, Raja Saud menyematkan bintang-bintang kehormatan Kerajaan kepada Sukarno dan Zainul Arifin. Sedangkan sebagai cindera mata Presiden Sukarno disila membawa pulang mobil yang dikendarainya selama menjadi Tamu Negara, mobil Chrysler Crown Imperial keluaran mutakhir 1955 mesin bermuatan 5,4 liter Hemihead V8 transmisi 2-speed Power Flite Automatic buatan Detroit, Michigan, AS buah karya desainer Virgil Exner. Mobil jenis ini hanya diproduksi sebanyak 7.840 unit saja untuk seluruh dunia. Kelak mobil yang dijadikan mobil resmi kepresidenan ini, menjadi korban percobaan pembunuhan terhadap Sukarno dalam Peristiwa Cikini 30 November 1957 yang menyebabkan cacat spatbor kiri dan kaca belakangnya.

Kepada Zainul Arifin, Raja menghadiahi Pedang Zambea, pedang simbol Kerajaan Arab Saudi yang terdapat gambarnya pada bendera Kerajaan, persis di bawah kalimat Tauhid.

Pada 2 Agustus 1955, Sukarno dan rombongan menjalankan tawaf wada, lantas kembali ke Jeddah. Esok harinya rombongan kembali ke Tanah Air dan akhirnya 5 Agustus mendarat kembali di Kemayoran.
 

Penulis: Ario Helmy



Wednesday, February 2, 2022

KH ZAINUL ARIFIN:MEMBELA ISLAM LEWAT MIAI



Menyongsong Haul KH Zainul Arifin ke 58 (2Maret 2021)

Oleh Ario Helmy

"Pernah ada serangan penghinaan terhadap Alquran dan Kanjeng Nabi Muhammad. Artikel yang ditulis Siti Sumandari di majalah Bangun yang menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai ‘pencemburu’, karenanya peraturan perkawinan dalam Islam dimaksudkan hanya untuk membenarkan ‘nafsu nabi’. Ini tuduhan jahat sekali,” ungkap sejarawan NU Choirul Anam kepada Duta.co.id

Cak Anam menambahkan, karena penghinaan itu berlanjut dan seperti dilindungi pemerintah Hindia Belanda, maka federasi organisasi Islam Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) membentuk Komisi Pemberantasan Penghinaan Islam, terdiri dari para tokoh Islam dari berbagai organisasi. Ada Kiai Zainul  Arifin (NU) sebagai ketuanya, Syahbudin Latif (PSII), Mr Kasman Singodimejo (MD), Wiwoho (PII), Moh Natsir (Persis). Mereka ini bersatu padu menghadapi penghina Islam hingga tuntas permasalahannya karena seluruh umat Islam merasa tersakiti.

Selain itu, Mansur Surya dalam bukunya Api Sejarah 2: Peran Ulama Dalam Membangun Organisasi Militer Modern, juga mengungkap bagaimana penjajah Belanda dalam upaya "devide et impera" nya berusaha membenturkan kaum priyayi pendukung mereka dengan umat Islam lewat antara lain tulisan-tulisan Dr. Soetomo dan Residen Bandung R.A.A Wiranata Kusumah yang juga menghina kehidupan Rasulullah. Untungnya perpecahan di kalangan umat Islam tidak sampai terjadi, malahan umat semakin bersatu melawan "musuh bersama" yaitu penjajah Belanda. 

BERSATU MELAWAN PENJAJAH

Berawal dari pidato KH Hasyim Asy’ari pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin 1936, yang menyerukan agar umat Islam dan khususnya warga NU mengenyampingkan pertikaian, membuang perasaan ta’ashub (fanatik) golongan dan aliran dalam berpendapat, menghilangkan cacian dan celaan sesama umat Islam serta menegakkan persatuan dan kesatuan, disusul dengan undangan NU bagi organisasi-organisasi Islam yang berada di luar mereka agar menghadiri Kongres NU ke-12 di Malang bulan Juni 1937 tekad untuk mendirikan lembaga persatuan Islam semakin menguat. Didirikanlah Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) pada Selasa Wage, 15 Rajab 1356 atau 21 September 1937 atas prakarsa KH Hasyim Asy'ari. Beberapa ormas Islam menyatakan bergabung ke dalam MIAI: NU, Muhammadiyah, Al Irsyad, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Al Khoiriyah, Persyarikatan Ulama Indonesia (PUI), Al Hidayatul Islamiyah, Persatuan Islam (Persis), Partai Islam Indonesia (PII), Partai Arab Indonesia (PAI), Jong Islamiaten Bond, Al Ittihadiyatul Islamiyah dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Pada awalnya MIAI hanya menjadi koordinator untuk berbagai kegiatan, tetapi kemudian berkembang menjadi wadah yang mempersatukan para umat Islam tanah air untuk kompak menghadapi politik Belanda yang memecah belah para ulama dan partai Islam. Pada periode 1939 – 1945 para ulama benar-benar bersatu padu dalam satu majelis.

Saat api persatuan sedang berkobar-kobar, muncul tantangan dari Partai Indonesia Raya (Parindra) lewat dua artikel yang melecehkan Islam dipublikasi majalah Bangun dalam dua edisi, bertanggal 15 Oktober dan 1 November 1937. Artikel-artikel yang ditulis Siti Soemandari itu mendukung rancangan undang-undang perkawinan pemerintah kolonial seraya menghina Rasulullah SAW serta peraturan perkawinan dalam hukum Islam. Ia menulis Nabi Muhammad SAW sebagai orang yang cemburuan dan menganggap banyak bagian dari hukum perkawinan Islam ditujukan untuk membenarkan “nafsu” Nabi. Menurut seorang penulis bernama Wibisono, artikel itu bermaksud melenyapkan keshalihan Nabi dan hendak menyatakan bahwa poligami itu kuno. Belakangan rancangan undang-undang itu dibatalkan karena kerasnya protes umat Islam.

Wednesday, January 12, 2022

Live Streaming Instagram: @kh_zainularifin


Ikutilah Live Streaming di profil Instagram: @kh_zainularifin
Jumat malam, jam 8 WIB

Terima kasih

Thursday, January 6, 2022

Bedah Buku: Barusku Mewangilah oleh: Dra. Evie Suryati Pohan, MM

KH Zainul Arifin Dan Masjid Istiqlal

Ario Helmy

Dari suatu catatan bersumber dari harian pagi berbahasa Belanda untuk masyarakat Belanda yang tinggal di Jakarta, De Niewsgier, terbit dari 1945 hingga 1957 didapat catatan menarik tentang peran Zainul Arifin dalam proyek pembangunan Masjid Istiqlal. 

Dari Menteri Agama

Ide awal untuk membangun sebuah mesjid negara dicetus oleh KH Wahid Hasyim selaku menteri agama pada tahun 1950 dengan didukung oleh Anwar Cokroaminoto. Setelah ide tersebut diajukan ke Presiden, Sukarno langsung meyambut baik. Namun ide tidak dapat segera diwujudkan karena situasi negara belum kondusif. 

Tak lama setelah Wahid Hasyim meninggal dunia karena mengalami kecelakaan lalu lintas, Zainul Arifin menjadi wakil perdana menteri II dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo. Zainul kemudian melanjutkan upaya merealisasikan ide pembangunan mesjid negara Kiai Wahid. Harian berbahasa Belanda De Niewsgier terbitan 30 November 1953 melaporkan bahwa pada Jumat, 27 November 1953, Zainul Arifin selaku Waperdam didampingi mendagri Prof Hazairin mewakili pemerintah dalam pertemuan guna membentuk sebuah Komite Pembangunan Masjid Besar Jakarta. Pertemuan mengukuhkan Anwar Cokroaminoto sebagai ketua membawahkan anggota-anggota: Syafruddin Prawiranegara, Assaat, dan KH Taufiqrahman. Setelah melaporkan berdirinya komite pembangunan mesjid nasional tersebut ke Presiden Soekarno dan mendapat dukungan Kepala Negara, langkah selanjutnya adalah mengesahkan Komite dalam bentuk badan hukum bertajuk Yayasan Masjid Istiqlal yang disahkan berdasar akte Notaris Eliza Pondaag pada 7 Desember 1954. 

Antara Thamrin dan Willhelmina

Sempat terjadi perbedaan pendapat tentang lokasi pembangunan Mesjid, antara saran wapres Bung Hatta di kawasan Bundaran HI di Jalan Husni Thamrin sekarang dengan daerah Taman Willhelmina di seberang Gereja Katedral. Akhirnya usul kedua yang dicetus Presiden Soekarno yang diterima. 
Berikutnya, digelar sayembara nasional untuk rancang bangun masjid selama 3 bulan, dari 22 Februari hingga 30 Mei 1955. 

Dari 27 sketsa dan maket yang masuk ke Dewan Juri yang di ketuai langsung oleh Presiden Soekarno sendiri, terpilihlah rancangan karya seorang arsitek beragama Kristen, Frederich Silaban, sebagai pemenangnya. Pemenang diumumkan setelah para juri melakukan penilaian selama 3 bulan. 

Pada 5 Juli 1955, F. Silaban selaku pemenang sayembara diganjar hadiah medali emas seberat 75 gram dan uang sebesar Rp25 ribu. Sayangnya, proses pembangunan sempat terbengkalai 11 tahun lamanya, seiring dengan bubarnya Kabinet Ali Sastroamijoyo I tak lama sesudah pengumuman pemenang sayembara. 

Sempat Mangkrak 

Pernah ada upaya merealisasikan proyek pembangunan masjid pada enam tahun sesudahnya, dimana Soekarno melakukan peletakan batu pertama bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi, 24 Agustus 1961. 

Saat terjadinya peristiwa G-30 S 1965, proyek kembali mangkrak sampai tahun 1966. Meski kementerian agama berinisiatif melanjutkan impian besar mewujudkan sebuah Masjid Nasional yang membanggakan dengan menetapkan KH Idham Chalid sebagai Koordinator Panitia Nasional Pembangunan Mesjid Istiqlal, tetap diperlukan 17 tahun proses pembangunan hingga akhirnya Mesjid Istiqlal akhirnya diresmikan oleh Presiden Soeharto 22 Februari 1978. Kini masjid yang namanya diambil dari Bahasa Arab bermakna, "Merdeka" ini merupakan mesjid raya terbesar di Asia Tenggara dengan luas 9,3 hektar serta mampu menampung 200 ribu jamaah sekaligus.  


(Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/95478/nu-kh-zainul-arifin-dan-masjid-istiqlal)

Tuesday, January 4, 2022

OLEH OLEH BUAT PKI


Ario Helmy

Saat menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri (Waperdam) dalam Kabinet Ali Satroamijoyo 1, KH Zainul Arifin ikut dalam rombongan kenegaraan Presiden Sukarno ke Mesir sebelum beribadah Haji ke Tanah Suci bulan Juli 1955. Setahun sesudahnya, Zainul Arifin juga termasuk sebagai anggota rombongan kenegaraan Sukarno mengunjungi beberapa negara: Amerika Serikat dan Eropa Barat. Dilanjutkan pada tahun yang sama muhibah ke Eropa Timur, Uni Soviet (Rusia) dan Cina. 

Di Kairo, rombongan kenegaraan sempat mengunjungi Museum Nasional Mesir dimana mumi tubuh utuh Firaun dapat disaksikan oleh pengunjung. Sedangkan di Lapangan Merah Moskow, Presiden Sukarno diiringi anggota rombongan meletakkan karangan bunga di Mausoleum Stalin dan Lenin.

PIDATO DI MAJELIS KONSTITUANTE
 
Tahun 1956 Zainul Arifin terpilih sebagai anggota Majelis Konstituante berdasar Pemilu 1955 mewakili Partai NU. Selama sidang-sidang Konstituante itulah terbentuk dua kubu yang berbeda pandangan mengenai dasar negara: Islam dan Pancasila. NU dan partai-partai Islam memilih Islam sebagai dasar negara karena PKI condong ke Pancasila. 

Menyikapi PKI yang seakan-akan "Pancasilais" Zainul Arifin mengungkapkan pandangannya terhadap sejarah tokoh-tokoh yang tidak mempercayai adanya Tuhan sebagaimana terdapat dalam Al Quran, yang tubuhnya tetap utuh tidak diterima bumi. Dalam pidatonya di depan sidang majelis Konstituante Zainul menyampaikan:

"Dengan petunjuk ayat Al Quran pula manusia modern sekarang ini dapat menggali mayat Firaun ini, dan sampai sekarang berada dalam salah satu museum di negeri Mesir yang tiap-tiap orang dapat melihat dan menyaksikan sendiri. Sayapun bersama-sama dengan rombongan Paduka Yang Mulia Presiden Sukarno, pada tahun 1955 dikala berkunjung ke negara Mesir, telah dapat menyaksikannya dengan mata sendiri, sebagai juga pada tahun yang lalu saya dapat menyaksikan mayat-mayat Stalin dan Lenin di dalam museumnya di Moskow dikala berkunjung ke sana dengan rombongan Paduka Yang Mulia Presiden"

(Lihat: Wilopo: Tentang Dasar Negara Dalam Konstituante, Jilid 2. Majelis Konstituante. Jakarta, 1958)

Namun, pada akhirnya, karena tidak juga di dapat kesepakatan yang memenuhi quorum antara kubu Pancasila dan Islam, akhirnya Majelis dibubarkan Presiden dan sebagai gantinya dikeluarkan Dekrit Presiden 1959 yang intinya mengembalikan UUD 1945 sebagai Dasar Negara.