Total Pageviews

Tuesday, August 31, 2021

TABRAKAN DI DEPAN TJANANG


Oleh: Ario Helmy

Waktu umurku 9 tahun terjadilah kecelakaan yang lumayan traumatis bagi hidupku yang belum berdosa itu. Suatu sore salah seorang tanteku (lupa tepatnya yang mana, karena koleksi tante-tanteku lumayan banyak dan beragam) menyuruhku membeli roti di toko roti paling terkenal di seluruh jagad NKRI tepat di seberang rumah peninggalan kakekku di Jl. Cikini Raya no. 48, Menteng, Jakarta Pusat. Sebagai GoPay nya eh GoWalk nya dong ya aku boleh beli 1 cup es krim yang paling imut murah meriah, namun tetap terasa maknyus buat mulut anak baru kelas 3 SD. Waktu itu memang aku selalu membayangkan surga itu isinya kolam es krim dengan permen bergelantungan di pohon-pohon dengan bidadari-bidadari berkulit kuning dan bermata sipit berterbangan di sekitarnya. Mirip lah dengan toko kue dan es krim di seberang rumah Cikini yang pemiliknya asli non-pri, tapi barang-barang dagangannya layak ikut ke surga. Yah, namanya aku waktu itu belum rajin menabung ataupun mengaji. Namanya juga anak-anak.

BELUM SADAR DIRI

"Ciiit...gubrak!" Begitu saja seorang anak muda berkendara motor menabrak aku sampai aku jatuh terlentang di atas aspal. Padahal aku sedang "on the way back home" menyeberang dari Toko Tjan Njan sambil memegang bungkusan roti tawar (zaman itu masih "environmentally friendly" ya Gangs!) jadi roti TIDAK berbungkus plastik melainkan bertutup "kertas roti". 

Apa? Dimana es krimnya? Menggelinding entah kemana. Wassalam...

Untungnya buat si penabrak, aku kala itu masih belum sadar kalau aku biar kerempeng-kerempeng begitu (attention please: pernah kurus!) adalah cucu seorang Pahlawan Nasional Ketua DPRGR dan pernah juga jadi Waperdam pula. Kalau zaman now, bisa panjang urusannya, Bro! Tapi alih-alih menangis Beirut (eh Bombay) aku dengan pede langsung bangkit dari aspal dan segera ngacir masuk ke halaman rumah, all the way ke gerbang yang kedua dimana "family room" berada. 

Singkat cerita, tidak lama berselang ibuku yang ortu tunggal, balik dari kantor dan tidak lama sesudahnya tahu-tahu ada roti, kue-kue dan es krim es krim (cuma bidadari Tiongkok yang tidak dihidangkan) untuk semua orang. Malamnya, duduklah aku di sebelah Ibu di ruang tunggu dr. Suradi, dokter keluarga kami yang suka bicara Bahasa Inggris dengan Ibu. Biasalah periksa medis, toh! 

Sekarang... kembali ke Es Krim!

ES KRIM UNTUK ISTANA

Ternyata selain aku yang doyan es krim Tjanang, 3 Presiden mengaku sangat suka es krim itu: Sukarno, Suharto, dan Megawati.

Nama asli tokonya Tjan Njan (kemudian di indonesiasi jadi Tjanang), didirikan oleh Lie Sim Fie seorang Cina totok daratan yang hijrah ke Batavia tahun 1940-an. Sim Fie merantau ke Hindia Belanda menyusul dan membantu kakaknya Lie Tjan Njan, pengusaha toko kelontong berjualan barang-barang keperluan orang Belanda.

"Dari coba-coba, Papa akhirnya menemukan resep es krim cikal bakal ciri khas toko Tjanang," cerita Yenie Lie, putri Sim Fie yang hingga kini tetap berjualan es krim warisan bapaknya. Senyampang semakin terkenalnya kelezatan es krim Tjanang ke seantero Jakarta, keluarga Lie akhirnya pada 1951 merubah toko kelontong saudaranya menjadi toko es krim dan aneka kudapan di Jl. Cikini Raya 50, Menteng, yang kini sudah berubah menjadi Hotel Cikini.

"Yang saya masih ingat, Papa pernah sangat sibuk waktu Presiden Sukarno memesan banyak es krim untuk acara-acara jamuan di Istana selama berlangsungnya Ganefo tahun 1963", kenang Yenie Lie.

Zaman Presiden Suharto es krim Tjanang juga masih jadi langganan katering Istana untuk acara-acara jamuan kenegaraan. Sedangkan zaman Presiden Megawati es krim Tjanang juga dicari-cari, meskipun lokasinya sudah pindah ke toko yang jauh lebih kecil.

Dulunya es krim dihidangkan dalam mangkuk-mangkuk stainless kecil, namun kini kemasannya terbuat dari plastik yang bisa dimakan di tempat ataupun dibawa pulang. Di tahun 1950an, pelanggan yang mau menyantap di lokasi resto biasanya menyantap sate ayam yang mangkal di depan toko dulu sebelum mengudap es krim sebagai pencuci mulut. Total ada12 pilihan rasa, dikemas dalam ukuran cup kecil, 0,6 liter, dan 1 liter: varian rasa kopyor, malaga, tape ketan, kacang ijo, durian, alpukat, hingga nougat. Tersedia juga varian kombinasi dimana satu cup terdiri dari rasa kopyor, strawberry, alpukat, dan cokelat.

Hingga tahun 1980-1990-an, es krim Tjanang merupakan restoran es krim yang tak hanya dikenal warga Jakarta, tetapi juga kalangan ekspatriat. Bersaing dengan es krim Baltic dan Ragusa.

PERNAH JADI TEMPAT JUDI

Ketika gubernur Ali Sadikin membolehkan tempat-tempat perjudian di Jakarta, Tjanang sempat berubah fungsi menjadi tempat judi dengan mesin-mesin pachinko dan jackpot. Sebagai anak kecil saya hanya bisa mengintip-intip dari luar. 

Istri pemilik Tjanang juga masih teguh memegang tradisi negeri leluhurnya. Sepatunya sempit dan kecil membuat jalannya kelihatan aneh. Suatu ketika, pernah ada salah seorang anggota keluarga mereka yang meninggal dunia. Upacara pemberangkatan jenazah ke krematorium juga kelihatan heboh. Selain rombongan orang-orang berpakaian karung terigu, beberapa truk memuat mobil, rumah, telepon dan perabotan lain terbuat dari kertas. Konon, benda-benda itu ikut dibakar dengan jasad mendiang.

Begitu perjudian dilarang, Tjanang balik lagi menjadi toko eskrim dan restoran. Tapi tahun 1990 seluruh keluarga pindah ke AS kecuali Yeni Lie yang dalam usia lanjut 64 tahun memutuskan untuk tinggal dan meneruskan usaha es krim keluarga. Hanya saja, sekarang es krim buatannya hanya dititipkan ke beberapa restoran di kawasan Menteng.

Terakhir saya melihat dan membeli es krim Tjanang di salah satu mal di kawasan Puri Indah, Jakarta Barat sekira 7 tahun silam. Hanya berupa konter dekat eskalator di lantai 3. Tapi rasa es krim dan penganannya masih membuat saya jadi rajin membeli. Sayang sekira 2 tahun lalu konternya sudah tutup.

Monday, August 30, 2021

Menyongsong Peringatan Harlah KH Zainul Arifin ke 112 (2 September 2021) PAHLAWAN KEHILANGAN TANDA JASA

(Ario Helmy) 

Di Istana Bogor, pagi hari sekira jam 7.30, Sabtu, 2 Maret 1963, Presiden Sukarno menerima telepon dari ketua PBNU Idham Chalid di RSPAD Gatot Subroto mengabarkan Ketua DPR KH Zainul Arifin telah berpulang ke rahmatullah setelah sebelum nya sempat mengalami koma di ruang ICU. Saat itu pula, Presiden membatalkan rapat dengan petinggi negara yang diagendakan berlangsung pagi itu. Pemerintah segera mengalihkan perhatian ke acara pemakaman kenegaraan bagi Zainul Arifin diikuti oleh pencanangan masa berkabung nasional selama tujuh hari penuh. 

PAHLAWAN NU PERTAMA

Keesokan harinya, Kepala Negara menetapkan KH Zainul Arifin sebagai Pahlawan Nasional secara lisan, senyampang bertakziah ke rumah duka.

"... Saya menetapkan bahwa almarhum Zainul Arifin ada lah Pahlawan Nasional. Sehubungan dengan itu saya t etapkan pula jenazah almarhum Zainul Arifin dikebumikan di Taman Pahlawan Kalibata... "

Sambut Presiden Sukarno selaku inspektur upacara pelepasan jenazah dengan kebesaran militer dari rumah duka, Jl. Cikini Raya 48, Menteng, Jakarta Pusat. Karena upacara pemakaman berlangsung pada hari Ahad, pernyataan lisan kepala negara tersebut baru ditabalkan keesokan harinya lewat SK Presiden No. 35 tertanggal 4 Maret 1963. Resmilah Zainul Arifin di tetapkan sebagai Pahlawan Nasional perdana dari Nahdlatul Ulama (NU) oleh pemerintah. 

TERTIB TANDA JASA

Secara kelengkapan administratif, Zainul Arifin memiliki sejumlah tanda jasa dari pemerintah tengara kelayakannya digelari Pahlawan Nasional. Sebagai  biografer kakek saya dari Ibu ini, tanda-tanda jasa yang di terima KH Zainul Arifin saya peroleh dari suatu daftar bintang jasa yang disimpan Ibu. Namun bagaimana bentuk fisik tanda-tanda jasa itu belum pernah saya saksikan sendiri. Konon, benda-benda berharga tersebut tercerai berai di kalangan keluarga hingga beberapa generasi ke bawahnya serta menjadi sulit dilacak lagi keberadaannya. 

SIPIL DAN MILITER

Seluruhnya ada 4 bintang yang dikoleksi Zainul Arifin, masing-masing: Bintang Gerilya, Bintang Mahaputra Kelas 2, Satyalencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan dan Bintang Mahaputra Adiprana Kelas 2.Tiga yang pertama disematkan langsung oleh  Presiden Sukarno. Sedangkan yang terakhir diterimakan lewat perwakilan anaknya di masa pemerintahan Presiden BJ Habibie. 

Bintang Gerilya, merupakan tanda kehormatan militer pertama kali dibentuk di negeri ini dan  ditetapkan pada tahun 1949 seiring berakhirnya Agresi Militer diikuti pengakuan kedaulatan RI oleh bekasi penjajah Belanda. Zainul Arifin menerima Bintang ini karena perannya sebagai Panglima Hizbullah selama Agresi Militer I dan II. Senyampang menerima anugerah Bintang Gerilya, KH Zainul Arifin memilih mengundurkan diri dari dinas kemiliteran guna melanjutkan darma baktinya di jalur sipil. Bagaimanapun, secara formal Arifin tetap diberi pangkat Mayor Jenderal (Tituler). 

Sepuluh tahun kemudian, tepatnya 17 Agustus 1960, di Istana Merdeka Sukarno menyematkan Bintang Mahaputra Kelas II sehubungan dengan terpilihnya Zainul sebagai pemangku Ketua DPR (Gotong Royong). Bintang ini merupakan Bintang tertinggi sipil yang resmi dibentuk 1959. Bintang ini setingkat saja di bawah Bintang Republik Indonesia yang cuma Presiden dan Wakil Presiden berhak menerima. Bintang Mahaputra juga lebih tinggi dari Bintang Gerilya. Kriteria penerima Bintang ialah mereka yang secara luar biasa menjaga keutuhan, kelangsungan, dan kejayaan NKRI. Di zaman sekarang ini Bintang Mahaputra Kelas 2 setara dengan Bintang Mahaputra Adiprana berdasarkan UU no. 20 tahun 2009.

SATYALANCANA MILITER

Tahun berikutnya, bertepatan dengan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1961, KH Zainul Arifin mendapat Tanda Jasa Militer, Satyalancana Perang Kemerdekaan yang diberikan pada anggota Angkatan Bersenjata yang sepenuhnya terlibat dalam Perang Kemerdekaan I dan II selama Agresi Militer Belanda pada kurun waktu 18 Desember 1948 hingga 27 Desember 1949. Adapun dasar hukumnya: Penetapan Undang-undang Darurat No. 2 Tahun 1958 tentang Tanda-tanda Penghargaan untuk Anggota Angkatan Perang (Lembaran Negara Tahun 1958 No. 41 sebagai Undang-undang No. 70 Tahun 1958 (70/1958). 
Sebagai pengemban Tanda Jasa tersebut KH Zainul Arifinpun masuk ke dalam kategori Pahlawan Kemerdekaan Nasional. 

PEMBARUAN DARI HABIBIE

Di masa pemerintahan Presiden Habibie, dalam rangka Hari Pahlawan 10 November 1999 Bintang Mahaputra yang diterima Zainul Arifin diperbarui menjadi Bintang Mahaputra Adiprana. Namun bagaimana tepatnya proses pembaruan Tanda Jasa yang diberikan Presiden lewat putri KH Zainul Arifin saya masih belum sepenuhnya meneliti. Karena semua bintang dan tanda jasa yang sudah tak tentu rimba itu, tidak satupun saya pernah melihatnya.

Saturday, August 28, 2021

PANAS DINGIN DI MASJID BIRU

(Ario Helmy)

Menyongsong bulan KH Zainul Arifin (Kahaza) beberapa hari lagi, bertepatan dengan peringatan hari lahir Kahaza ke 112 pada 2 September 2021, kerabat dari Kerukunan Keluarga Besar Sutan Syahi Alam Pohan (KKBSSAP) membagikan foto-foto perjalanan mereka mengunjungi Masjid Biru Soekarno di kota Saint Petersburg, Rusia, yang pernah dikunjungi Kahaza dan Presiden Soekarno pada 1956. Asye Amir Hamzah dan Deddy Zulbadri berkesempatan berkunjung ke Saint Petersburg selang dua tahun dalam musim berbeda.

PANAS DAN DINGIN

Kalau Asye Amir Hamzah yang kemenakan KH Zainul Arifin, mengunjungi Masjid Sukarno di musim panas, Deddy Zulbadri dan istrinya Yuli yang merupakan cucu kemenakan menapak tilas ke sana pada musim dingin. Mereka sama-sama mengagumi kemegahan dan keindahan Masjid Agung kota Saint Peter itu.

"Saya menyempatkan diri mengunjungi Masjid Biru sekira 2 tahun lalu. Musim panas," cerita Asye, "Sungguh pengalaman yang sangat berharga bisa menapak tilas ke sana."

Deddy dan istrinya Yuliani Siswohartono (Yuli) berkunjung ke Masjid Sukarno 2 tahun sebelumnya, tahun 2017.

"Setelah berkeliling Kota Moscow, kami menyempatkan diri ke Saint Petersburg dan menyambangi Masjid Biru Sukarno, " kenang Yuli, "Sayang waktu itu Masjid sedang ditutup sementara karena sedang direnovasi. Jadi kami tidak bisa masuk dan solat di dalamnya."

"Bagaimanapun sebagai sesama keturunan Sutan Syahi Alam Pohan dari Barus, kamipun merasa sangat bangga bisa menyaksikan sendiri Masjid Agung yang pernah didatangi Presiden Sukarno dan Angku Zainul Arifin. " Deddy menambahkan.

 









Thursday, August 26, 2021

‌ANTARA WASHINGTON DC DAN LENINGRAD (2 - HABIS)‌

Oleh: Ario Helmy
‌"Saya sempat bertemu putra Mufti Masjid Biru di Saint Petersburg yang bapaknya pernah menerima Presiden Sukarno dan Angku KH Zainul Arifin tahun 1956. Kami dari KBRI Moskow, menemui Mufti Zhafar Ponchaev dalam rangka Peringatan 70 tahun Persahabatan Indonesia - Rusia tahun 2020 ini," Tutur Fauzi Butami, cucu kemenakan KH Zainul Arifin yang bulan ini baru saja berakhir penugasannya sebagai staff Konsul Keamanan KBRI Moskow. Kunjungan kenegaraan pertama Presiden RI ke Russia tahun 1956 memang menorehkan sejarah tersendiri bagi hubungan kedua negara.
‌SUDAH 70 TAHUN
‌"Sebenarnya NU masih keberatan waktu pemerintah Kabinet Ali - Arifin mau membuka hubungan diplomatik tingkat kedutaan dengan negara komunis Rusia. KH Zainul Arifin mendapat banyak pertanyaan dalam Muktamar ke 20 tahun 1954 itu," ungkap Asmach Syahruni ketua Muslimat NU terlama saat memberikan kesan dan kenangan tentang Zainul Arifin pada tahun 2009.
‌Meskipun hubungan diplomatik dengan Rusia sudah dimulai sejak 1950 dengan pengakuan Negeri Beruang Merah itu atas Proklamasi Kemerdekaan RI, namun fomalisasi diplomatik dengan membuka kedutaan masing-masing di Jakarta dan Moskow baru dirintis sejak Kabinet Ali 1 mulai memerintah pada 1953. Baru tahun 1954 kedua negara secara bertahap membuka kedutaan besar masing-masing di Moskow dan Jakarta.
‌Setahun setelah pelaksanaan Konferensi Asia Afrika Bandung 1955, dirancanglah perjalanan kenegaraan Presiden Sukarno ke negara-negara blok Barat dan blok Timur. Di Rusia, rombongan berkunjung dari 28 Agustus hingga 12 September 1956. Sebagaimana sambutan terhadap Presiden Sukarno di AS, di Uni Sovietpun rombongan kenegaraan diterima dengan hangat oleh pemerintah setempat.
‌BERTANDANG KE MASJID GUDANG
‌Kunjungan panjang kenegaraan rombongan Presiden Sukarno dimulai dari Moskow, dimana rombongan disambut oleh PM Nikita Kruschev. Selanjutnya, rombongan dijamu berkunjung ke kota pelabuhan bersejarah di pinggir Laut Baltik, St. Petersburg atau kala itu sering juga disebut Leningrad. St. Petersburg atau Leningrad merupakan kota dibangun oleh Peter the Great, atau raja Peter I pada abad 17. Kota ini juga disebut Leningrad karena Lenin memang dilahirkan di sini. Lanskap kotanya tidak beda dengan kota-kota besar di Eropa Barat, seperti Amsterdam, Berlin ataupun London. Letaknya di pinggiran Sungai Neva dan ratusan kanal di dalamnya menjadikan kota ini sebagai Venesia Rusia. St. Petersburg pernah menjadi ibukota Kekaisaran Rusia selama 200 tahun. 
‌Di dekat bantaran Sungai Neva terdapat sebuah masjid yang kubahnya berwana biru. Tatkala pelancong ikut cruise kapal menyusuri Sungai Neva, menaranya yang menjulang terlihat dengan jelas.
‌Ketika melintas di Masjid Biru itulah Sukarno ingin mampir ketika diberitahu bahwa bangunan yang diduganya sebagai masjid ternyata memang sebuah rumah ibadah kaum Muslim yang sudah tua. Pihak protokoler tidak dapat memenuhi permintaan Sukarno dengan alasan jadwal yang sangat padat. Presiden tidak berputus asa. Ketika kembali ke Moskow, Sukarno meminta sendiri kepada Kruschev untuk diizinkan memasuki dan melihat dari lebih dekat bangunan mesjid yang rupanya sudah diubah menjadi sebuah gudang sejak Perang Dunia II itu. Nikita Krushchev kemudian memerintahkan agar bangunan dibersihkan dan Imam Mesjid ditugasi untuk menerima rombongan Presiden Indonesia.
‌Sempat melaksanakan sholat di Masjid Biru, Sukarno dan Zainul Arifin dalam pertemuan dengan Imam Masjid Ponchaev, mendapat penjelasan mengenai sejarah mesjid yang nama resminya adalah Jam'ul Muslimin. 
‌Masjid tersebut mulai dibangun tahun 1910. Ketika dibangun, umat Islam di Rusia berjumlah hanya 8.000 orang. Pembangunan masjid dilakukan setelah dibentuk komite khusus tahun 1906 diketuai Ahun Ataulla Bayazitov. Penyumbang terbesar tercatat Said Abdoul Ahad Amir Buharskiy yang membiayai semua pekerjaan pembangunan masjid.
‌Pembangunannya memakan waktu sampai sebelas tahun. Saat diresmikan penggunaannya pada 1921, mesjid yang diarsiteki oleh dua orang nasrani bernama Vaslilier dan Alexander Von Googen ini tampak mirip dengan sebuah masjid di Samarkand, Asia Tengah.
‌Dua menaranya menjulang setinggi 48 meter sedangkan kubahnya yang dibalut keramik warna biru sangat megah dengan ketinggian 39 meter.
‌PIJAR ISLAM DI TANAH KOMUNIS
‌Usai mengunjungi masjid, Sukarno lagi-lagi berdiplomasi ke pemerintah Uni Soviet untuk membuka kembali Masjid Jam'ul Muslimin dan umat Muslim Uni Soviet diizinkan beribadah di dalam Masjid Raya mereka tersebut. Peristiwa ini dicatat oleh sejarah umat muslim Rusia hingga kini. Ketika diwawancara oleh media masa AS mengenai keadaan penduduk muslim Uni Soviet. sebagai tokoh Islam Indonesia Zainul Arifin menjawab dalam bahasa Inggris:
‌"Here the Moslem religion resembles a lamp in which the light has almost died out and the oil has not been renewed."
‌(Di sini agama Islam seperti lampu minyak hampir padam yang minyaknya belum diganti).
‌Dibukanya kembali Masjid Biru sebagai pusat kegiatan umat muslim Uni Sovietpun bagaikan minyak baru penerang pelita Islam.
‌Mesjid Biru pernah hampir rubuh pada tahun 1980 karena dimakan usia dan perhatian pemerintah sangat berkurang. Hingga akhirnya seorang dermawan menyumbang biaya pemugaran besar-besaran masjid membuat pemerintah Rusiapun tergerak untuk ikut ambil bagian. 
‌Kini ketika memasuki mesjid, selepas melewati ruang penerimaan, kita akan langsung masuk ke dalam masjid lantai pertama yang mampu menampung lebih dari dua ribuan jamaah. Kubah yang dari luar berwana biru, didalamnya terdapat ukiran dan lukisan yang terpengaruh oleh budaya Arab dan menggantung di tengah-tengahnya lampu bulat besar bertatahkan kaligrafi buatan Rusia dengan berat lebih dari 2 ton.
‌MASJID KEBANGGAAN RUSIA
‌Dari kejauhan terlihat mihrab megah berwarna biru terbuat dari ribuan marmer berdesain khusus. Di tengah-tengahnya tergambar siluet berupa kaligrafi berisi firman Allah SWT tentang kebaikan dan kebijakan yang harus dianut oleh manusia. Di sampingnya, terdapat mimbar khutbah dengan tangganya yang tinggi terbuat dari kayu yang sangat terawat. Pada saat khatib naik mimbar, ia akan memegang tongkat sebagai pengganti tombak pada jaman para sahabat nabi. 
‌Lantai dua dan tiga dipakai untuk shalat jamaah wanita, sehingga tidak perlu sekat seperti yang ada di beberapa masjid. Uniknya, untuk bisa mengikuti shalat berjamaah, para wanita hanya bisa melihat ke imam melalui dua cendera yang telah disiapkan. Melihat modelnya, jendela ini pastilah model jendela Mesir. 
‌Pilar-pilar besar penyangga kubah dan lantai dua dan tiga dihiasi dengan aneka lukisan bunga mirip budaya Rusia bagian Selatan. Ada juga kaligrafi terbuat dari kayu berukuran sekitar satu kali dua meter yang terpajang di samping ruang imam sholat. Tembakan dua lampu dari samping dan atas memberikan nuansa tersendiri atas tatahan indah surah al-Fatihah yang berada di tengah-tengah ukiran model Bali hadiah dari Presiden Megawati Soekarnoputri, serta ada satu lukisan kaligrafi lagi dari mantan Wapres Jusuf Kalla.




Tuesday, August 24, 2021

ANTARA WASHINGTON DC DAN LENINGRAD (1)

Oleh: Ario Helmy

Menyongsong peringatan hari lahir KH Zainul Arifin ke 111 pada 2 September 2020 yad, saya ingin mengulas beberapa catatan saya mengenai perjalanan kenegaraan bersama Presiden Sukarno yang diikuti Zainul Arifin. Dalam dua bagian saya memusatkan perhatian pada fragmen riwayat perjalanan langlang buana yang mengambil tempat pada dua buah masjid yang masing-masing Masjid Islamic Center di Washington DC, Amerika Serikat dan Masjid Biru di St. Petersburg, Uni Soviet (sekarang Rusia).

JEMBATAN PERSAHABATAN

Sukses menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955, Presiden mulai merencanakan perjalanan keliling dunia guna menggaungkan semangat persahabatan antarbangsa senyampang merajut upaya-upaya memperkenalkan sistem politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif serta non-blok di tengah berlangsungnya perang dingin antara blok Barat dan blok Timur. Lawatan ke mancanegara tersebut dikemas dalam misi "Membangun Jembatan Persahabatan Antar Bangsa".

Setelah melawat ke beberapa negara di Asia dan mengakhirinya dengan kunjungan kenegaraan ke Mesir dan Kerajaan Arab Saudi yang dilangsungkan bersamaan dengan melaksanakan ibadah haji pada 1955, tahun berikutnya, giliran AS, Canada dan Eropa Barat yang disambangi rombongan kenegaraan Presiden selama Mei-Juli 1956.

Di AS rombongan menghabiskan hingga 18 hari dengan jadwal padat meliputi perjalanan "coast to coast" ke banyak negara bagian AS. Salah satu tempat singgah di hari pertama berupa kunjungan ke Islamic Center di Washington DC, dimana dalam perjalanan memenuhi undangan makan siang kenegaraan di Gedung Putih, Sukarno dan rombongan menyempatkan melakukan sholat sunah Masjid dan Dhuha. Peristiwa ini diliput dengan baik oleh majalah terkemuka AS, LIFE, berupa "photo story" kegiatan tetamu negara dari mulai masuk hingga meninggalkan masjid.

KUNJUNGAN DADAKAN

Saya sendiri berkesempatan mengunjungi Islamic Center yang beralamat di 2551 Massachussets Avenue, Washington DC itu pada akhir Agustus 1983, ketika Ibu dinas di Bank Dunia di Washington DC dan New York City. Karena sedang liburan kuliah, saya diminta untuk menemani. Waktu itu memang kami tinggal di Houston, Texas, karena Ibu sedang ditempatkan di Kantor Perwakilan PT Pupuk Sriwijaya (PUSRI) di sana. 

Buat saya yang baru pertama kali ke sana, ibu kota ini terasa begitu kecil dan membosankan. Bangunan-bangunannya kebanyakan kantor-kantor pemerintah yang tingginya tidak ada yang melampaui Monumen Washington di pusat kota dengan ketinggian sekira 13 lantai saja. Di sana kami menginap di Hotel Embassy Row, terletak persis berseberangan dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Amerika Serikat. Setiap kali dinas ke Washington Ibu selalu menginap di hotel ini.

Karena kami harus berpisah, di hari pertama Ibu mesti ke Bank Dunia, sedang saya tidak ada rencana kemana-kemana, Ibu menyarankan (sekalian membukukan) saya untuk mengikuti Tour Keliling Kota Washington. Tujuan tur meliputi: Gedung Putih, monumen-monumen ini dan itu, serta museum-museum aneka rupa. Ibu juga menentukan titik perpisahan kami di Islamic Center di ujung jalan sekira 5 menit dari tempat kami menginap. Dari situ Ibu bakal naik taksi ke Bank Dunia sedang saya akan dijemput Bis Turis.

DUTA BESAR MENINGGAL

Sejarahnya, ide pembangunan Masjid Islamic Center Washington bermula ketika Duta Besar Turki Muenir Urteguen wafat pada 1944 tanpa adanya mesjid yang memadai untuk menyembahyangkan jenazahnya. Duta Besar Mesir kala itu, Muhammad Isa Abu Al-Hawa kemudian membahas rencana pembangunan mesjid untuk kaum Muslim di kawasan Washington DC. Usulnya itu segera mendapat tanggapan positif kalangan diplomat negara-negara Islam dan masyarakat umum Muslim AS.

Tanahnya dibeli pada 30 April 1946, sedangkan peletakan batu pertamanya berlangsung pada 11 Januari 1949. Masjid bermenara setinggi 50m yang diarsiteki seorang non-muslim Prof. Mario Rossi dari Italia itu sudah dapat mulai digunakan sejak 1954. Jadi ketika rombongan Presiden Sukarno di awal musim panas, bulan Mei 1956 mampir untuk beribadah di sana, mesjid ini masih belum rampung benar. Mesjid baru diresmikan sendiri oleh Presiden Eisenhower pada 28 Juni 1957.

MESJID SETENGAH JADI

Dari foto-foto yang dimuat dalam majalah LIFE tahun 1956 mengenai kegiatan Sukarno beserta rombongan melaksanakan sholat di Islamic Center dapat dilihat kalau bangunan belum seluruhnya selesai. Lampu kristal dan pilar-pilar mesjid belum lagi dipasang. Begitu pula dengan dinding keramik serta tulisan-tulisan kaligrafi sumbangan pemerintah Turki. Dari foto-foto itu juga dapat disimpulkan rombongan melakukan sholat sunat mesjid dan Dhuha, karena tidak satupun foto menujukkan kegiatan sholat berjamaah. Selain itu, juga tampak jelas kalau anggota rombongan "entourage" Presiden tidak terlalu besar jumlahnya. Tidak sampai 20 orang, sudah termasuk ajudan-ajudan dan para pengawal.

Kamera begitu jeli merekam setiap gerakan Sukarno dari sejak melepas sepatu hendak memasuki area mesjid hingga foto bersama para pejabat kedua negara di akhir kunjungan di Islamic Center. Tampak dalam foto tampak beberapa pejabat tinggi AS ikut mengantar rombongan ke Masjid, termasuk diantaranya Henry Kissinger yang kelak menjadi menteri luar negeri AS dibawah Presiden Richard Nixon dan Presiden Gerald Ford. Meski pembicaraan bilateral yang berlangsung anrara Sukarno dan Eisenhower berlangsung kurang bersahabat, namun agaknya penampilan foto-foto itu membuktikan bahwa Sukarno adalah seorang kepala negara mayoritas Muslim yang memang lebih suka memilih menjadi Non-Blok. Sedangkan kepada Zainul Arifin dalam kapasitasnya sebagai anggota parlemen dari partai Islam pemerintah Eisenhower menganugerahi bintang kehormatan.

Wednesday, August 18, 2021

KH Zainul Arifin Ikut Langlang Buana Dengan Sukarno

Saya duduk di kursi paling kiri, persis di depan monitor pesawat pemirsa kaset VCR berisi rekaman reel kuno mengenai kunjungan Presiden Sukarno ke sepuluh negara peserta Konferensi Asia Afrika di Bandung 1955. Di tengah ruangan duduk petugas pembawa arsip non-kertas yang juga tekun memandang ke layar monitor. Di sebelahnya, petugas pemutar VCR menanyakan kecepatan film sambil menerangkan cara mencatat potongan film berdasarkan hitungan menit untuk kepentingan dokumentasi. Saya ingin mencari bukti bahwa: kakek saya, pahlawan kemerdekaan nasional, Pahlawan Nasional KH Zainul Arifin 1909 - 1963 ikut dalam rombongan Presiden. Karena bukti foto-foto kuno berukuran 10R berisi kegiatan-kegiatan kunjungan Presiden ke Eropa Timur yang pernah menjadi koleksi keluarga kami hilang entah kemana, saat kami sekeluarga pindah tinggal di AS karena Ibu bertugas di sana.

Layar monitor menunjukkan film kegiatan rombongan Presiden di Maroko. Tanpa suara. Namun cukup informatif. Sebagai jeda antar negara-negara yang disinggahi ditunjukkan peta dengan gambar pesawat terbang kecil bergerak sesuai jadwal kunjungan.

"Nah, itu dia!" seru saya. Lega. Anggut (panggilan saya ke Kakek) disorot dari jarak dekat dalam acara jamuan makan siang.

"Saya ulangi, ya Pak! Sambil saya lambatkan." kata petugas pemutar film. Saya mengangguk, bersiap mencatat hitungan menit film.

Di Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia berlokasi di Jl. Ampera Raya No 7, Cilandak Timur, Jakarta Selatan itu bukti-bukti sejarah siap diakses guna disunting menjadi hikayat perjalanan negeri ini menjadi suatu bangsa merdeka dan berdaulat seperti adanya sekarang ini. 

Saya sendiri sebagai biografer Anggut KH Zainul Arifin sudah bisa menambahkan dalalm edisi revisi buku Biografi KH Zainul Arifin: Berdzikir Menyiasati Angin catatan penting menjgenai perjalanan Presiden Soekarno berserta rombongan sebagai tindak lanjut dari Konferensi Asia Afrika berlangsung di Bandung dimasa pemerintahan Kabinet Ali-Arifin (1953-1955). Kunjungan ke sepuluh negara tersebut dinamai kunjungan muhibah: Membangun Jembatan Persahabatan.

Berturut-turut rombongan Presiden singgah di Bulgaria, Rumania, Austria, Mesir, Nigeria, Guinea, Maroko, Tunisia, Portugal dan Yugoslavia. Kunjungan dalam rangka pembentukan Gerkan Non Blok tersebut tidak memperoleh simpati sedikitpun dari AS yang memandangnya sebagai: "Perkumpulan negara-negara miskin."

Kemlu.go.id mencatat: 

Kunjungan Presiden Soekarno ke Rabat tanggal 2 Mei 1960 tercatat sebagai kunjungan kepala Negara pertama di dunia ke Maroko pasca kemerdekaan. Kunjungan tersebut mendapat sambutan hangat dari Raja Mohammed V dan rakyat Maroko. Presiden Soekarno dianggap sebagai Pemimpin Revolusi dunia yang membangkitkan semangat kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika. Kunjungan Presiden Soekarno ini merupakan catatan sejarah penting yang menunjukkan kedekatan antara kedua negara.

Sedangkan dari keterangan mengenai film khusus saat berlangsungnya kunjungan di Maroko saya berhasil mencatat:

Dari Guinea di Afrika Barat, rombongan menuju Maroko. Setibanya di Rabat, Presiden dan rombongan disambut Raja Muhammad dan Pangeran Mulley Hasan dengan upacara kebesaran militer. Rakyat Maroko memadati jalan-jalan dari bandara menuju Istana Villa Daressalam di mana pasukan berkuda sudah siap menyambut kedatangan Soekarno. Selanjutnya, rombongan menuju kota Makaresh di mana dilaksanakan upacara meminum susu kambing sebagai perlambang persahabatan. Di susul, jamuan kenegeraaan diadakan oleh Putra Mahkota Mulley Hasan, dimana pelaksanaannya berdasarkan tradisi setempat berupa duduk lesehan di atas karpet. di dalam tenda khas Arab. 

Baru malam harinya, diselenggrakan jamuan makan yang lebih formal oleh Raja Muhammad yang dilanjutkan bagian terpenting kunjungan berupa penandatanganan persetujuan berdasar prinsip Dasa Sila Bandung. Keesokan harinya, rombongan Presiden melanjutkan perjalanan menuju, Lisbon, Portugal.

Monday, August 16, 2021

Lomba Mirip Pahlawan

Ketika SD Al Azhar Syifa Budi, Jatibening, Bekasi mengadakan Lomba Foto Mirip Pahlawan Nasional dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI ke 76, cicit KH Zainul Arifin , Atthariz Hambali, cucu Burhanuddin A. Pohan, menyertakan fotonya meniru foto buyutnya KH Zainul Arifin. Siswa kelas 1 berusia 7 tahun itu memang cuma beda tipis lah dari kakek buyutnya. 

Saturday, August 14, 2021

KH ZAINUL ARIFIN & NAHDLATUL ULAMA(2)

KH ZAINUL ARIFIN & NAHDLATUL ULAMA
(2)

Oleh: Ario Helmy

"Dengan kepemimpinan KH Zainul Arifin yang piawai dalam mengelola forum sehingga sidang menjadi sangat efektif dan produktif menghasilkan beberapa keputusan penting mulai masalah pokitik, pengembangan ekonomi riil dan perbankan, serta penentuan pakaian khas bagi Muslimat NU." (DZ: p.52).

MAJELIS KONSUL DAN MIAI

Setelah Muktamar ke 13 di Menes berlangsung sukses, kedudukan KH Zainul Arifin meningkat pesat. Sebentar saja Arifin sudah diamanahi sebagai Ketua Majelis Konsul Batavia yang membawahkan semua Pengurus Cabang NU di kawasan Batavia. Namanya semakin kondang di kalangan kiai-kiai NU di Betawi dan Jawa Barat. Sedangkan PBNU memberinya tugas yang semakin menantang pula. Zainul ditugasi ikut mewakili NU di MIAI, Majelis Islam A'la Indonesia, sebuah federasi ormas Islam di seluruh Hindia Belanda.

MIAI didirikan atas inisiatif NU dan Muhammadiyah sebagai reaksi atas campur tangan pemerintah kolonial yang terlalu jauh terhadap syariat Islam. Kebijakan Belanda membentuk Undang-Undang perkawinan pada tahun 1937, misalnya, dipandang bertentangan dengan syariat islam, sehingga Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah berreaksi dengan mendirikan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada 21 September 1937 di Surabaya dengan melibatkan 13 ormas Islam. Federasi yang diketuai KH Wahid Hasyim ini sempat berkiprah di bidang politik di penghujung penjajahan Belanda. MIAI pernah berkongres tiga kali dimana KH Zainul Arifin ikut berperan di dalamnya sebagai wakil NU, sebelum akhirnya federasi ini dibekukan sementara senyampang masuknya Jepang ke Hindia Belanda pada 1942.

TIGA KONGRES MIAI

Kongres MIAI disebut juga Kongres Al-Islam pertama dilaksanakan 26 Februari-1 Maret 1938 di Surabaya. Dalam kongres perdananya  ini selain dibahas Undang-Undang Perkawinan yang diajukan pemerintah, juga disidangkan antara lain: soal hak waris umat Islam, raad agama, permulaan bulan puasa, dan perbaikan perjalanan haji.

Dalam Kongres MIAI II dikaji ulang UU Perkawinan secara lebih mendalam ditambah dengan tanggapan atas terbitnya artikel dalam suatu media massa yang dianggap menghina Islam. Untuk itu dibentuk Komisi Pembelaan dimana Zainul Arifin ikut duduk di dalamnya. Berpengalaman sebagai pengacara Pokrol Bambu, Arifin dipandang layak terlibat dalam komisi ini. 

Kongres terakhir Al-Islam MIAI ketiga digelar di Solo 7-8 Juli 1941. Beberapa materi diantaranya: peningkatan layanan perjalanan haji, tempat shalat di Kereta Api, penerbangan

Friday, August 13, 2021

KH ZAINUL ARIFIN & NAHDLATUL ULAMA(1)


Zainul Arifin hijrah dari Kerinci di Sumatera Tengah ke Batavia pada 1926, dalam usia 17 tahun. Ormas Islam Nahdlatul Ulama berdiri di Surabaya tahun yang sama. Kelak Arifin akan berkiprah di organisasi Islam terbesar di tanah air tersebut hingga membawanya masuk kedalam kelompok negarawan Bapak Bangsa yang ikut membangun negeri  sejak kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Berikut catatan sejarahnya:

Lahir sebagai keturunan Raja ke 20 Barus , Tapanuli Tengah, Tuanku Sutan Syahi Alam Pohan, di Barus pada 2 September 1909, Zainul Arifin hanya sempat sebentar saja dibesarkan di lingkungan istana kakeknya, Rumah Putih. Pasalnya, ayahandanya yang putra sulung Tuanku Sutan, Ramali Pohan dan ibundanya, Siti Baiyah boru Nasution bangsawan Mandailing, Tapanuli Selatan, bercerai ketika Arifin masih balita. Tak lama kemudian, ibunda Zainul menikah lagi dengan bangsawan Mandailing Nurdin Lubis yang bekerja sebagai Pengawas Hutan Kerinci Seblat. 

DARI KERINCI KE JATINEGARA

Zainul Arifin ikut pindah ke Sungai Penuh, di kaki gunung Kerinci, bersama bunda dan bapak tirinya. Di sana dia menamatkan pendidikan HIS dan sekolah guru Normaal School. Sore harinya Zainul memperdalam ilmu agama di madrasah dan di surau ketika berlatih seni bela diri silat. Selain itu dia juga aktif berkesenian sandiwara musikal tradisional Stambul Bangsawan. Arifin lulus sekolah guru di usia 17 tahun. Di tahun itu pula ayahanda kandungnya wafat sebelum sempat memangku jabatan Tuanku. Zainul muda kemudian memutuskan untuk hijrah ke Jakarta memulai hidup mandiri berdikari, bermodal ijazah HIS dan Normaal School.

Begitu tiba di Betawi, Zainul diterima bekerja di pemda setempat (gemeente) tepatnya di BUMD PAM (Perusahaan Air Minum) yang hingga kini berkantor di kawasan Pejompongan. Di sana Arifin bekerja sekira 5 tahun lamanya hingga tetiba pemerintah kolonial terkena dampak resesi ekonomi dunia hingga akhirnya mengurangi tenaga-tenaga kerja pribumi.

Zainul Arifin kemudian bekerja sebagai guru di sekolah Perguruan Rakyat dekat domisilinya di daerah Jatinegara. Pun, Zainul kembali menekuni kegiatan kesenian Samrah, cikal bakal Gambang Kromong yang mirip benar dengan seni panggung Stambul Bangsawan yang pernah ditekuninya ketika masih sekolah HIS dan Normaal School, di Kerinci, Sumatera Tengah.

Kegiatan Samrah mempertemukannya dengan tokoh sandiwara serta kemudian film Indonesia, Jamaluddin Malik. Kedua sahabat kemudian juga sama-sama memasuki organisasi pemuda NU, Gerakan Pemuda Ansor. Selain, memperdalam lagi pengetahuan agamanya, di Ansor Arifin juga tekun mengikuti pelatihan muballigh. Didukung kefasihannya berbahasa Inggris dan Belanda serta kemampuannya berpidato dan berdebat, sebentar saja Zainul Arifin sudah diterima kalangan kiai-kiai NU di Batavia. Ditambah lagi perkenalannya dengan Wahid Hasyim, putra Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari yang baru kembali dari pendidikannya di Arab Saudi dan menetap di Batavia, Zainul dan Jamaluddin direkrut sebagai pengurus NU di Batavia. Arifin sudah menjadi Ketua Cabang NU Jatinegara sekitar tahun 1933.

BERSINAR DI MUKTAMAR

Meski baru sebagai Ketua Cabang Jatinegara,  Zainul Arifin sudah dipercaya memimpin pelaksanaan Muktamar NU ke 13 di Menes, Banten pada 1938. Abdul Mun'im DZ dalam bukunya: Fragmen Sejarah NU (Pustaka Compass: 2017) merinci kiprah Zainul dalam Muktamar tersebut:

"Namun demikian dalam mengelola persidangan sejak hari pertama hingga hari penutupan sepenuhnya diserahkan pada KH Zainul Arifin, walaupun saat itu belum pengurus PBNU melainkan masih menjadi Konsul NU Wilayah Meester Cornelis (Jatinegara, Batavia)." (DZ: p.51)

Hanya 1 persidangan yang absen dipimpin Zainul Arifin, sidang 15 Juni 1938. Hari itu Arifin harus menghadap Residen Serang untuk meminta izin agar dapat melaksanakan Muktamar di area terbuka hingga dapat dihadiri oleh banyak warga NU.

Keberhasilan Zainul mendapatkan izin dari Residen membuat Ketua PBNU Mahfudz Siddiq memujinya.

Kilas Balik: Mengenang Perang Kemerdekaan

Berkunjung ke Monumen Tugu Nasional Surabaya

Thursday, August 12, 2021

110 Tahun KH Zainul Arifin: Berkunjung ke Cekoslowakia bersama Presiden Soekarno

Ario Helmy

Bulan September 2019 ini merupakan Bulan Kahaza, akronim dari KH Zainul Arifin yang lahir di Titik Nol Islam Nusantara, Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara hari Kamis Pon, 2 September 1909 atau 16 Syaban 1327 H. 

Wakil Perdana Menteri dari Partai NU dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I yang terkenal sukses menyelenggara Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955 ini kemudian menjadi politisi yang sangat dekat dengan Presiden Sukarno. 

Setelah Kabinet Ali Pertama bubarpun Sukarno selalu menyerta Zainul Arifin dalam rombongan kecil kenegaraan mengunjungi negara-negara di lima benua membawa misi perdamaian senyampang memaparkan Deklarasi Bandung 1955 cikal bakal terbentuknya negara non-blok. Tulisan ini dibuat sebagai catatan sejarah KH Zainul Arifin dalam menjalankan perannya sebagai diplomat.

KUNJUNGAN PENTING

Kantor Berita Ceko menerbitkan rekaman film kunjungan bersejarah Sukarno ke negara Eropa Timur yang waktu itu masih bersatu sebagai negeri Cekoslowakia pada tahun 1956. 

Kala itu, meski sudah memiliki perwakilan tidak resmi di Ibu Kota Praha sejak 1948 dan dua tahun setelahnya Cekoslowakia resmi mengakui kedaulatan Republik Indonesia (Serikat) berdasar hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag, namun pada 7 Maret 1950 dibuka perwakilan negeri komunis itu di Jakarta baru dalam bentuk Konsulat Jenderal.

Makanya, Sukarno langsung memenuhi undangan Presiden Antonin Zapotocky dengan membawa serta sejumlah kecil tokoh politik Indonesia yang paling dekat dengannya berkunjung secara resmi ke Praha pada 22 September 1956. Kiai Zainul Arifin sendiri ikut dalam rombongan Presiden selaku Wakil Ketua DPR.

Sambutan rakyat Cekoslowakia sangat gegap gempita terhadap Sukarno dan rombongan. Presiden di daulat untuk memberikan pidato di depan ribuan rakyat Cekoslowakia. 

Dalam film dokumenter tampak pula Zainul Arifin menyaksikan pemberian gelar doktor Honoris Causa kepada Sukarno dari Charles University serta penyematan medali kehormatan tertinggi negara Singa Putih dari Presiden Zapotocky.

JEMBATAN PERSAHABATAN

Setahun setelah kunjungan persahabatan bersejarah tersebut Konsulat Jenderal Cekoslowakia ditingkatkan statusnya sebagai Kedutaan Besar. Sedangkan untuk Praha, Presiden Sukarno mengutus RA Asmaoen, SH sebagai duta besar Republik Indonesia pertama untuk Cekoslowakia. Hubungan diplomatis antara kedua negarapun dimulailah.








Tuesday, August 10, 2021

Kerukunan Keluarga Besar Sutan Syahi Alam Pohan (KKBSSAP)

Rapat pengurus Kerukunan Keluarga Besar Sutan Syahi Alam Pohan (KKBSSAP) kakek paternal @kh_zainularifin asal kota @barus @initapteng @tapanuli.tengah, Sumatera Utara
#sumaterautara #margapohan #barus #tapanulitengah #tapanulitengahsumatrautara #tapanulitengahsumut #sutansyahialampohan #khzainularifinpohan #khzainularifinpohanpanglimasantri #khzainularifin #pahlawannasional #pahlawannasionalindonesia #pahlawankemerdekaan #pahlawankemerdekaannasional #tuankurajabarus

Dari Status Facebook Meltas Panjelin

Ulama Tasawuf berkata:

ﻓﺎﻟﻔﻘﻴﻪ ﻫﻮ اﻟﻌﺎﻟﻢ ﺑﻘﺎﻧﻮﻥ اﻟﺴﻴﺎﺳﺔ ﻭﻃﺮﻳﻖ اﻟﺘﻮﺳﻂ ﺑﻴﻦ اﻟﺨﻠﻖ ﺇﺫا ﺗﻨﺎﺯﻋﻮا ﺑﺤﻜﻢ اﻟﺸﻬﻮاﺕ

Seorang ulama ahli Fikih adalah orang yg mengerti terhadap aturan dalam politik dan jalan tengah antara masyarakat ketika mereka bersengketa dengan hukum syahwat

ﻓﻜﺎﻥ اﻟﻔﻘﻴﻪ ﻣﻌﻠﻢ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻭﻣﺮﺷﺪﻩ ﺇﻟﻰ ﻃﺮﻕ ﺳﻴﺎﺳﺔ اﻟﺨﻠﻖ ﻭﺿﺒﻄﻬﻢ ﻟﻴﻨﺘﻈﻢ ﺑﺎﺳﺘﻘﺎﻣﺘﻬﻢ ﺃﻣﻮﺭﻫﻢ ﻓﻲ اﻟﺪﻧﻴﺎ

Maka kedudukan ulama Ahli Fikih adalah pengajar bagi pemerintah dan pemberi petunjuk baginya menuju jalan mengatur masyarakat, agar urusan keduniaan mereka menjadi teratur

ﻭﻟﻌﻤﺮﻱ ﺇﻧﻪ ﻣﺘﻌﻠﻖ ﺃﻳﻀﺎً ﺑﺎﻟﺪﻳﻦ ﻟﻜﻦ ﻻ ﺑﻨﻔﺴﻪ ﺑﻞ ﺑﻮاﺳﻄﺔ اﻟﺪﻧﻴﺎ ﻓﺈﻥ اﻟﺪﻧﻴﺎ ﻣﺰﺭﻋﺔ اﻵﺧﺮﺓ ﻭﻻ ﻳﺘﻢ اﻟﺪﻳﻦ ﺇﻻ ﺑﺎﻟﺪﻧﻴﺎ

Sepengetahuanku (al Ghazali) masalah ini tetap berkaitan dengan agama juga, meski tidak langsung, namun melalui perantara dunia. Sebab dunia adalah ladang amal untuk akhirat. Dan masalah agama tidak sempurna kecuali dengan dunia
(Ihya' Ulumiddin)
Ulama Tasawuf berkata:

ﻓﺎﻟﻔﻘﻴﻪ ﻫﻮ اﻟﻌﺎﻟﻢ ﺑﻘﺎﻧﻮﻥ اﻟﺴﻴﺎﺳﺔ ﻭﻃﺮﻳﻖ اﻟﺘﻮﺳﻂ ﺑﻴﻦ اﻟﺨﻠﻖ ﺇﺫا ﺗﻨﺎﺯﻋﻮا ﺑﺤﻜﻢ اﻟﺸﻬﻮاﺕ

Seorang ulama ahli Fikih adalah orang yg mengerti terhadap aturan dalam politik dan jalan tengah antara masyarakat ketika mereka bersengketa dengan hukum syahwat

ﻓﻜﺎﻥ اﻟﻔﻘﻴﻪ ﻣﻌﻠﻢ اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻭﻣﺮﺷﺪﻩ ﺇﻟﻰ ﻃﺮﻕ ﺳﻴﺎﺳﺔ اﻟﺨﻠﻖ ﻭﺿﺒﻄﻬﻢ ﻟﻴﻨﺘﻈﻢ ﺑﺎﺳﺘﻘﺎﻣﺘﻬﻢ ﺃﻣﻮﺭﻫﻢ ﻓﻲ اﻟﺪﻧﻴﺎ

Maka kedudukan ulama Ahli Fikih adalah pengajar bagi pemerintah dan pemberi petunjuk baginya menuju jalan mengatur masyarakat, agar urusan keduniaan mereka menjadi teratur

ﻭﻟﻌﻤﺮﻱ ﺇﻧﻪ ﻣﺘﻌﻠﻖ ﺃﻳﻀﺎً ﺑﺎﻟﺪﻳﻦ ﻟﻜﻦ ﻻ ﺑﻨﻔﺴﻪ ﺑﻞ ﺑﻮاﺳﻄﺔ اﻟﺪﻧﻴﺎ ﻓﺈﻥ اﻟﺪﻧﻴﺎ ﻣﺰﺭﻋﺔ اﻵﺧﺮﺓ ﻭﻻ ﻳﺘﻢ اﻟﺪﻳﻦ ﺇﻻ ﺑﺎﻟﺪﻧﻴﺎ

Sepengetahuanku (al Ghazali) masalah ini tetap berkaitan dengan agama juga, meski tidak langsung, namun melalui perantara dunia. 
Sebab dunia adalah ladang amal untuk akhirat. Dan masalah agama tidak sempurna kecuali dengan dunia
(Ihya' Ulumiddin)

Monday, August 9, 2021

KH ZAINUL ARIFIN DAĹAM KATA-KATA (Zaman Pendudukan Jepang)


"Hendaknya NU menyesuaikan diri dengan keadaan zaman serta berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai kemenangan terakhir."

(Dimuat dalam Asia Raja, 15 Juni 1944, p.1)

- Dalam Musyawarah Ulama Jawa Barat dihadiri 600 ulama, 30 Juli 1944:

"Tanah Jawa adalah suatu negeri yang penduduknya sebagian besar terdiri dari umat Islam, sehingga dengan sendirinya kita tidak boleh ketinggalan untuk menyelenggarakan Benteng Perjuangan Jawa. Karena itu, kedudukan kaum ulama bertambah penting. Marilah kita membaharui niat ikut berjuang dalam Benteng Perjuangan Jawa."

(Dimuat dalam Harian Sinar Baroe, 1 Agustus 1944, p.3)

- Dalam Rapat Umum Umat Islam 13 September 1944 di Taman Raden Saleh, Jakarta:

"Soal kemerdekaan dalam Islam bukanlah soal semboyan dan cita-cita saja, tetapi adalah menjadi dasar dari agama. Umat Islam yang mempunyai jiwa yang hidup harus menuntut dan mempertahankan kemerdekaan, kalau perlu dengan jiwa raganya."

(Dimuat dalam Harian Tjahaja, 15 September 1944, p.1)

- Dalam Rapat Masyumi di Banten, 15 Januari 1945:

"Hanya dengan adanya pemuda-pemuda yang berani berjuang saja, keluhuran bangsa dapat tercapai."

(Dimuat dalam Harian Tjahja, 18 Januari 1945, p.2)

- Kantor Berita Domei, 18 Juli 1945, p.1 merilis kutipan Zainul Arifin yang dikumandangkan pada Penutupan Pelatihan Mubaligh NU 28 Juli 1945 di Cirebon diikuti 57 ulama:

"Untuk mendapat sebutir nasipun harus diperjuangkan. Perjuangan Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar dan lain-lainnya membuktikan keteguhan hati pahlawan-pahlawan Islam dalam memperjuangkan kebahagiaan nusa bangsa. Merjan tasbihnya dijadikan pelor untuk menghantam musuh. Siapa berani hidup harus berani mati. Karena mati ditentukan Tuhan."

(Dimuat dalam Sinar Baroe, 1 Agustus 1945)

Sunday, August 8, 2021

DARI PBB KE BUNDARAN HI

5 Agustus 2021 merupakan hari peringatan diresmikannya hotel termegah di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara pada zamannya, Hotel Indonesia, yang ke 59 tahun. Hotel bersejarah terletak di jantung kota Jakarta, bundaran HI itu sengaja dibangun untuk memfasilitasi pesta olahraga Asian Games 1962 sekaligus menunjukkan pada dunia kalau Indonesia mampu melaksanakan event olahraga internasional bertaraf global.

OLEH-OLEH DARI PBB

KH Zainul Arifin saat menyertai Presiden Sukarno ke Kantor Pusat PBB di New York pada 1960 sempat menyaksikan kekaguman Sukarno akan rancang bangun gedung megah rancangan arsitek Abel Sorensen. Presiden kemudian mengundang Sorensen dan istrinya yang juga perancang bangunan Wendy untuk mendesain hotel berbintang pertama Indonesia sekaligus termegah di Asia Tenggara di atas tanah berukuran 25.85 meter.

Selama dua tahun hotel 16 lantai berkapasitas 500 kamar tersebut dibangun dengan menuangkan konsep dasar dari Presiden berslogan "A Dramatic Symbol of Free Nations Working Together". Konsep itu terkait erat dengan program politik nasional berlabel Trisakti.

KEPRIBADIAN INDONESIA

Pada upacara peresm⅖ian Hotel Indonesia, 5 Augustus 1962, KH Zainul Arifin didampingi Nyai Hamdanah Abdurrahim tampak duduk di deretan bangku paling depan VVIP selalu Ketua DPR seraya menyimak pidato Sukarno bertajuk, "Tunjukkanlah Kepribadian Bangsa".

Dibagian depan dinding hotel terukir relief kehidupan tradisional masyarakat Bali seluas 68 meter dikerjakan oleh 53 seniman. Hingga kini karya seni ini tetap terjaga keindahan pahatannya.

Sebagai bangunan bersejarah, Hotel Indonesia memiliki Heritage Room yang masih menyimpan memorabilia peresmiannya. Didalamnya dapat disaksikan gunting asli digunakan Presiden kala acara pengguntingan pita peresmian. Juga ada peranti makan yang digunakan dalam acara jamuan. Foto KH Zainul Arifin beserta istri sedang mendengarkan Presiden Sukarno masih terawat rapi dalam ruangan ini.



Wednesday, August 4, 2021

Waperdam KH Zainul Arifin dan Presiden Sukarno Berangkat Haji (1)

Tiga bulan seusai berlangsungnya Konferensi Asia- Afrika di Bandung bulan April 1955, KH Zainul Arifin dalam kapasitasnya sebagai Wakil Perdana Menteri (Waperdam) pemerintah Kabinet Ali-Arifin mendampingi kepala negara Presiden Sukarno melakukan kunjungan kenegaraan ke beberapa negara di kawasan Asia (Singapura, Thailand, India, dan Pakistan), Jazirah Arab (Persatuan Arab Emirates dan Irak) serta Mesir di Afrika dan mengakhirinya dengan menjadi tamu negara Kerajaan Saudi sekaligus melaksanakan ibadah haji untuk pertama dan terakhir kalinya.

Ikut dalam rombongan berjumlah 31 orang itu beberapa pejabat negara diantaranya: Menteri Agama KH Masykur, Ruslan Abdulgani, Achmad Subarjo dan para ajudan serta pengawal presiden dan wartawan. 

Menyongsong peringatan kelahiran KH Zainul Arifin ke 111, akan dibahas rinci catatan perjalanan kenegaraan yang berlangsung selama 18 Juli - 4 Agustus 1955 itu dalam dua bagian tulisan. Bagian pertama mengupas kisah kunjungan bersejarah rombongan ke Mesir, sedangkan bagian lainnya menguraikan jadwal kegiatan Presiden Sukarno ketika menunaikan ibadah haji akbar di Tanah Suci.

Mampir ke Singapura hingga Irak 

Rombongan berangkat meninggalkan bandara Kemayoran pada 18 Juli menggunakan pesawat Garuda G-40 menuju Singapura. Di negeri jiran tersebut Presiden dan rombongan menemui masyarakat Indonesia yang tinggal di sana. Selanjutnya kunjungan non-formal di Bangkok. Sedangkan di New Delhi India, kunjungan agak lebih formal dengan Perdana Menteri Jawarhal Nehru menyambut Sukarno di Bandara didampingi dubes Indonesia untuk India, LN Palar.

Tidak berlama-lama perjalanan langsung berlanjut berturut-turut singgah di Karachi, Pakistan, kemudian Sharjah di Persatuan Arab Emirates dan Baghdad, Irak. Tidak banyak ditemukan rincian kunjungan ke negara-negara tersebut selain keterangan bahwa perjalanan pesawat kala itu memang harus terputus-putus sedemikian rupa. Memerlukan 2 hari sebelum rombongan mendarat di Kairo, Mesir.

Menginap di Istana Raja

Tanggal 20 Juli 1955, Presiden Sukarno beserta rombongan tibalah di Kairo, Mesir dan kunjungan kenegaraan berlangsung sampai 5 hari lamanya. Sambutan resmi di bandara secara militer dipimpin langsung oleh Presiden Mesir, Abdul Gamal Nasser. Sedangkan KH Zainul Arifin diterima resmi oleh mitranya Waperdam Mesir, Gamal Salim. Surat kabar Mesir Al-Ahram melaporkan sambutan yang gegap gempita dari rakyat Mesir yang mengelu-elukan Sukarno sepanjang perjalanan dari bandara menuju tempat menginap rombongan di Istana Kerajaan Mesir Koubbeh yang sangat megah dan indah. 

"Seolah seluruh rakyat Mesir keluar rumah menyambut kedatangan Presiden Indonesia. Sepanjang jalan yang dilalui Presiden Soekarno dipenuhi rakyat segala umur", tulis koran Al-Ahram. Keesokan harinya, tetamu negara dari Indonesia dibawa mengunjungi Museum Nasional Mesir, melihat mumi para Firaun dilanjutkan dengan lawatan ke piramida. Hari ketiga, Jumat, 22 Juli 1955, saat Presiden Sukarno dan anggota-anggota rombongan lainnya solat Jumat di Masjid Agung Kairo, jamaah masjid mendoakan para tamu negara asal Indonesia yang sedang dalam perjalanan ke Tanah Suci guna melaksanakan ibadah haji.

Acara kemudian dilanjutkan dengan menaiki kapal menyusuri Sungai Nil hingga ke Delda Barrages. Malamnya, Presiden Sukarno beserta rombongan menghadiri Perayaan Hari Kemenangan Nasional di kawasan Jumhuriah Square. Sukarno lantas didaulat untuk berpidato di depan rakyat Mesir yang membanjiri perayaan, disambut oleh pidato kenegaraan Presiden Gamal Abdul Nasser.

Dalam kesempatan itu pula, Waperdam Zainul Arifin mengundang Waperdam Gamal Salim untuk menghadiri dan menjadi Tamu Kehormatan Negara dalam perayaan HUT Kemerdekaan RI ke 10 di Jakarta. 

Koran berbahasa Belanda Het nieuwsblad voor Sumatra, 25-07-1955 menulis:  'Wakil Perdana Menteri Mesir diundang (Wakil Perdana Menteri Zainul Arifin ) sebagai tamu negara dari Pemerintah Indonesia untuk menghadiri 17 Agustus di Jakarta. (Gamal Salim) akan tinggal di Indonesia dua minggu dimana Mesir juga akan berpartisipasi dalam pameran perdagangan internasional ketiga di Jakarta yang akan dibuka 18 Agustus sekaligus untuk mengkonsolidasikan hubungan perdagangan antara Mesir dan Indonesia’."

Ketika beberapa minggu kemudian Gamal Salim melakukan kunjungan ke Indonesia, KH Zainul Arifin sendiri menyambutnya di Kemayoran dan membawa tamu negara tersebut menemui Sukarno di Istana Bogor.

Bintang Nisyah

Hari terakhir di Mesir, dipandu oleh Letkol Anwar Sadat para tamu negara dibawa berwisata ke daerah Alexandria di pesisir laut Mediterania. Dari sana, rombongan Presiden RI kemudian dijamu pertunjukan demonstrasi kekuatan Pasukan Angkatan Bersenjata Mesir di lapangan El Jumhuria.

Selanjutnya, Presiden Gamal Abdul Nasser menganugerahi Sukarno dan KH Zainul Arifin bintang kehormatan Republik Mesir, Bintang Nisyah. Sedangkan, sebagaimana dilaporkan harian Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 25-07-1955: Ulama Besar dan Rektor Universitas Al Azhar menghadiahi Presiden dan Waperdam RI salinan Quran langka yang dicetak di atas kertas linen. Rektor Al Azhar juga mengantar rombongan menuju bandara dan melepas tetamu negara berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji.


Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/121862/waperdam-kh-zainul-arifin-dan-presiden-sukarno-berangkat-haji--bagian-1-

Monday, August 2, 2021

SEKELUMIT KENANGAN (2): HAMDANAH ZAINUL ARIFIN


Oleh: Ario Helmy

Begitu dipecat dari pekerjaannya di Gemeente (pemda) oleh penjajah Belanda yang tetiba merombak kebijakan karena dilanda kemerosotan ekonomi global di era 30-an, KH.Zainul Arifin beralih profesi menjadi pekerja seni sandiwara tradisional Samrah dan guru sekolah di Batavia. Selain itu, Arifin kembali mendalami ilmu agamanya serta aktif di organisasi pemuda NU, Ansor. Sebentar saja namanya sudah dikenal luas di kalangan ulama NU di Batavia dan Jawa Barat sebagai dai muda yang mumpuni dalam berdakwah. Dalam waktu singkat, dia sudah menjadi Konsul Majelis NU Batavia. Istrinya, Hamdanah Zainul Arifin dikenal sebagai istri kiai.

Ketika Jepang datang, Zainul semakin aktif di organisasi ulama Masyumi mewakili NU. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menugasinya untuk menggalang kekuatan di antara pemuda-pemuda Islam guna bersiap-siap menyongsong kemerdekaan yang dijanjikan Jepang.

"Umat Islam yang mempunyai jiwa yang hidup harus menuntut dan mempertahankan kemerdekaan jika perlu dengan jiwa raganya," seru Arifin ketika berkeliling Jawa Barat guna mengobarkan semangat menuntut kemerdekaan di kalangan santri. 

Tak lama sesudahnya, dia terpilih sebagai Komandan laskar pemuda Islam Hizbullah yang pelatihannya berlangsung selama 2 bulan di Cibarusah, Bekasi.

ISTRI PEJUANG

Hamdanah Zainul Arifin secara berangsur-angsur mulai menyusaikan diri sebagai istri pejuang auh dari kehidupan nyaman dan aman. Sebagai Panglima Hizbullah, Zainul Arifin termasuk dalam daftar tokoh yang dicari-cari oleh Tentara Belanda selama masa perang kemerdekaan. Belanda ingin kembali menjajah Indonesia yang sudah memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Para pejuang yang terdiri dari tentara dan laskar-laskar yang juga sudah bersenjata harus melaksanakan Perang Gerilya di hutan-hutan dan gunung-gunung. Bisa berbulan-bulan lamanya keluarga yang ditinggalkan tidak dapat berhubungan dengan suami/ayah mereka.

Hamdanah Arifin yang sudah memiliki 10 orang anak harus berjuang keras menghidupi keluarganya. Dia harus pandai-pandai mencari penghasilan sendiri agar dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Untuk itu dia berjualan makanan sebisanya.

"Anak tertua dan kedua lelaki sudah mulai remaja. Sudah mulai ikut bergerilya," kenang Zuraida Fatma, putri keempat.

"Kami bertahan hidup dengan makanan seadanya. Mamih memasak sayur apa saja: daun pepaya, daun singkong, daun katuk, lalapan," lanjut Zuraida, "Mamih juga mengajarkan kami beternak ayam untuk diambil telurnya dan kambing untuk susunya. Karena adik-adik masih kecil-kecil. Di Kediri Mamih melahirkan adik kami Siti Aisyah. Dia terpaksa diberi susu kambing karena ASI Mamih tidak keluar."

Perang Kemerdekaan adalah zaman yang sangat sulit bagi semua orang. Selain susah mendapatkan bahan makanan, pakaian juga langka. Setiap anak-anak perempuan Hamdanah diharuskan belajar menjahit untuk memperbaiki dan menambal baju yang rusak.

"Karena Ayah harus bergerilya di hutan dan gunung, serta keadaan yang tidak aman kami terpaksa harus sering mengungsi. Berjalan kaki ratusan kilo sambil menggendong adik-adik yang lebih kecil," rinci Firman Arifin.

Kalau ada serangan udara keluarga besar ini harus mencari bunker, agar dapat bersembunyi di bawah tanah.

"Dalam perjalanan mengungsi sering kami temui mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Mamih sampai gemetaran membalik mayat-mayat itu satu-satu, takut kalau Ayah atau Uda Bai dan Uda Cecep tertembak mati." terang Firman pula.

Dari Kediri Hamdanah dan anak-anaknya mengungsi ke Malang, kemudian ke Solo. Sepanjang perjalanan harus melewati pos-pos penjagaan. Para pengungsi mengular antri menjalani pemeriksaan.

"Kami sampai mencubit adik bungsu yang masih bayi agar menangis keras. Lalu, biasanya kami di dahulukan."

GERILYA ALA AKTOR

Zainul Arifin bergerilya langsung di bawah koordinasi Jendral Sudirman. Dia memang termasuk lingkaran dalam Sudirman selaku Panglima Hizbullah dan anggota Dewan Kelaskaran Pusat dan Seberang.

Arifin menggunakan keahliannya sebagai aktor sandiwara untuk menyamar agar bisa menyusup kemana-mana.

"Ayah merubah penampilan dan gaya bicaranya sebagai seorang keturunan Arab dalam menyamar. Berkali-kali Ayah lolos dari kejaran tentara Jepang dan Sekutu." cerita putri Zainul, Siti Zuhara.

Namun pengorbanan seluruh Bangsa Indonesia menghadapi Perang Kemerdekaan yang diwarnai oleh dua kali Agresi Militer sepanjang 1945-1949 berbuah manis. Di penghujung tahun 1949 akhirnya Belanda mengakui kedaulatan NKRI sebagai negara bebas merdeka. Para pejuang pulang ke keluarga masing-masing. Zainul Arifinpun yang di awal kemerdekaan duduk di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) kembali ke parlemen sebagai anggota DPRS. Kembali ke Jakarta dan menjadi kepala keluarga lagi.