Total Pageviews

Friday, December 23, 2011

NAPAK TILAS: RUMAH SEBAGAI PAHLAWAN

Oleh: Ario Helmy

Siang itu, pintu gerbang rumah di Jalan Cikini Raya nomor 48, Menteng, Jakarta Pusat tidak terkunci. Dengan mudah kumasuki halaman depan yang puluhan tahun silam pernah menjadi tempatku bermain. Pendapa di depan ruang tamu utama sudah tidak ada lagi. Ruang tamu saja yang belum berubah,ruangan tempat Kakek, KH Zainul Arifin menikahkan Ibu ke Ayah. Di situ juga ruang tempatku merayakan ulang tahun ke sembilan. Di ruangan yang sama jenazah KH Zainul Arifin pernah dibaringkan sebelum dimakamkan. Ke sanalah Presiden Sukarno bertakziah kepada keluarga besar yang ditinggalkan. Kakek wafat saat masih aktif  menjabat ketua DPRGR merangkap sebagai Wakil Menteri Pertama (Wampa), pada 2 Maret 1963 di pengujung era Demokrasi Terpimpin.

"Ada perlu apa, Pak?" tiba-tiba saja lelaki itu muncul dari arah belakang rumah. Ketika aku sedang asyik meminta tolong Andhika yang menemaniku untuk mengambil beberapa foto di halaman depan rumah yang kelihatan sudah sangat tua dan tidak terurus itu.

"Oh, maaf, saya kira rumah ini kosong. Saya hanya mau melihat-lihat," jawabku. Beberapa jenak bapak tadi memandangiku dari atas ke bawah. Wajahnya seperti ingin bilang, "Tinggal 15 langkah lagi ada Taman Ismail Marzuki. Kalau Anda beruntung, bisa melihat-lihat pameran lukisan."

"Ini rumah orang penting, Pak!" akhirnya itu yang keluar dari mulutnya, "Tentara yang punya. Biasanya di jaga."

"Oh, begitu ya. Dulu waktu masih kecil saya suka main di sini. Boleh ya saya foto-foto sebentar," gaya bicaraku kutekan jangan sampai serupa gaya bicara Satpol PP. (Bagaimana pulakah itu gerangan?). Meskipun sang Bapak mulai kelihatan tidak seketus tadi dan belum bernuansa ingin mengusir, namun tetap saja tekukan rona wajahnya memastikan aku untuk faham kalau kesabarannya bisa sewaktu-waktu habis. Bisa jadi juga itu cuma perasaanku saja.

"Bapak tinggal di sini?" tanyaku.

"Ya. Di belakang sana," angguknya mengarah ke belakang rumah yang dulunya garasi. Beberapa rumah petak berjajar, seperti rumah-rumah kontrakan, lengkap dengan jemuran yang sudah nyaris kering sempurna berjajar terpanggang mentari jam makan siang. Dia diam saja, tapi terus mengiringi saya melongok ke paviliun rumah, yang bagian dalamnya sudah melompong tidak bersekat. Mirip gudang dengan aneka sampah beronggok di sana-sini.

"Bapak, siapa?" tanyanya lagi.

"Saya Ario. Cuma mau melihat-lihat." Sukurlah tidak sampai ditanyanya KTP dan Kartu Keluarga. Atau surat jalan, surat penugasan. Dari rumah tadi aku memang niat menapak tilasi rumah ini. Aku yakin ada yang bakal masih bisa kukenali dari rumah Kakek. Tidak terbayang kalau ternyata rumah ini yang malah sudah lupa padaku.

Aku menoleh ke kanan ke arah ruang tamu. Agak melongok ke dalam. Tidak berani terlalu kelihatan bahwa aku sedang "memeriksa". Takut Bapak benar-benar "The End" kesabarannya.

"Di ujung sana, ada ruang kecil tempat kerja Kakek, Dhik. Waktu Bung Karno takziah, dia masuk ke ruangan itu dengan petinggi-petinggi DPRGR. Saat itu juga diadakan pemilihan Ketua DPRGR baru pengganti Zainul Arifin. Yang terpilih Wakil Ketua Aruji Kartawinata," ujarku lancar pada Andhika yang cuma termangu. Teringat penglaman bersin-bersin karena penyakit sinusitisku kambuh waktu melakukan riset dan menemukan data tersebut di Lantai 8 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Salemba Raya. Koran tua Duta Masyarakat tertanggal 4 Maret 1963 sudah kecoklatan dan nyaris jadi bubur ketika petugas mengangkatnya untuk memfoto kopi seperti permintaanku.

"Yang juga unik. Kakek ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional juga di rumah ini, sebelum ada SK-nya." lanjutku.

"Saya tetapkan Zainul Arifin sebagai Pahlawan Nasional dan jasadnya untuk di kuburkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata," lisan Presiden Sukarno ketika melepas jenazah ke Kalibata.

Zainul Arifin wafat pada 2 Maret 1963 pagi di RSPAD, Gatot Subroto, hari Sabtu. Dikuburnya juga pada hari libur, Minggu, hari ketujuh setelah Hari Idul Fitri pula. Jadilah SK Pahlawan Nasionalnya baru ditandatangani Presiden pada Senin, 4 Maret 1963.

Bapak pengawas (karena kerjanya mengawasiku terus) itu tetap saja tidak "nyambung" antara mendengar dan tidak mendengar.

"Terimakasih, Pak. Saya sudah boleh lihat-lihat, " akupun langsung mohon diri. Bapak hanya mengangguk. Akhirnya...

No comments: