Total Pageviews

Tuesday, January 4, 2022

OLEH OLEH BUAT PKI


Ario Helmy

Saat menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri (Waperdam) dalam Kabinet Ali Satroamijoyo 1, KH Zainul Arifin ikut dalam rombongan kenegaraan Presiden Sukarno ke Mesir sebelum beribadah Haji ke Tanah Suci bulan Juli 1955. Setahun sesudahnya, Zainul Arifin juga termasuk sebagai anggota rombongan kenegaraan Sukarno mengunjungi beberapa negara: Amerika Serikat dan Eropa Barat. Dilanjutkan pada tahun yang sama muhibah ke Eropa Timur, Uni Soviet (Rusia) dan Cina. 

Di Kairo, rombongan kenegaraan sempat mengunjungi Museum Nasional Mesir dimana mumi tubuh utuh Firaun dapat disaksikan oleh pengunjung. Sedangkan di Lapangan Merah Moskow, Presiden Sukarno diiringi anggota rombongan meletakkan karangan bunga di Mausoleum Stalin dan Lenin.

PIDATO DI MAJELIS KONSTITUANTE
 
Tahun 1956 Zainul Arifin terpilih sebagai anggota Majelis Konstituante berdasar Pemilu 1955 mewakili Partai NU. Selama sidang-sidang Konstituante itulah terbentuk dua kubu yang berbeda pandangan mengenai dasar negara: Islam dan Pancasila. NU dan partai-partai Islam memilih Islam sebagai dasar negara karena PKI condong ke Pancasila. 

Menyikapi PKI yang seakan-akan "Pancasilais" Zainul Arifin mengungkapkan pandangannya terhadap sejarah tokoh-tokoh yang tidak mempercayai adanya Tuhan sebagaimana terdapat dalam Al Quran, yang tubuhnya tetap utuh tidak diterima bumi. Dalam pidatonya di depan sidang majelis Konstituante Zainul menyampaikan:

"Dengan petunjuk ayat Al Quran pula manusia modern sekarang ini dapat menggali mayat Firaun ini, dan sampai sekarang berada dalam salah satu museum di negeri Mesir yang tiap-tiap orang dapat melihat dan menyaksikan sendiri. Sayapun bersama-sama dengan rombongan Paduka Yang Mulia Presiden Sukarno, pada tahun 1955 dikala berkunjung ke negara Mesir, telah dapat menyaksikannya dengan mata sendiri, sebagai juga pada tahun yang lalu saya dapat menyaksikan mayat-mayat Stalin dan Lenin di dalam museumnya di Moskow dikala berkunjung ke sana dengan rombongan Paduka Yang Mulia Presiden"

(Lihat: Wilopo: Tentang Dasar Negara Dalam Konstituante, Jilid 2. Majelis Konstituante. Jakarta, 1958)

Namun, pada akhirnya, karena tidak juga di dapat kesepakatan yang memenuhi quorum antara kubu Pancasila dan Islam, akhirnya Majelis dibubarkan Presiden dan sebagai gantinya dikeluarkan Dekrit Presiden 1959 yang intinya mengembalikan UUD 1945 sebagai Dasar Negara.

No comments: