Total Pageviews

Showing posts with label panglima hizbullah. Show all posts
Showing posts with label panglima hizbullah. Show all posts

Saturday, October 22, 2022

PERAN KH ZAINUL ARIFIN SEBAGAI PENGEMBAN RESOLUSI JIHAD

(Ario Helmy) 

"Hanya dengan adanya pemuda-pemuda yang berani berjuang saja, keluhuran bangsa dapat tercapai." (Panglima Hizbullah KH Zainul Arifin, Harian Tjahja, 18 Januari 1945, p.2)

Resolusi Jihad yang melatar belakangi peringatan Hari Santri nasional memiliki sejarah kejuangan penting dalam sejarah bangsa dan negara ini. Di sini akan dikupas keterlibatan Pahlawan Nasional KH Zainul Arifin kelahiran Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, sebagai salah seorang pengemban isi Resolusi Jihad yang difatwakan Hadtatusyekh KH Hasyim Asy'ari.

Panglima Hizbullah

Resolusi Jihad dikeluarkan pada 22 Oktober 1945 sebagai fatwa berdasar rapat besar konsul-konsul NU se-Jawa dan Madura di Kantor PBNU Jalan Bubutan Surabaya, Jawa Timur. KH Zainul Arifin hadir sebagai Konsul NU Jakarta sekaligus Ketua Markas Tinggi (Panglima) Hizbullah. Martin van Bruinessen dalam bukunya  NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994) mencatat, pada tanggal 21 dan 22 Oktober 1945, wakil-wakil cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya dan menyatakan perjuangan kemerdekaan sebagai jihad (perang suci) melawan penjajah. Bruinessen juga melampirkan naskah lengkap Resolusi Jihad yang menerakan Resolusi ditujukan kepada Presiden Sukarno, Panglima Besar Sudirman, Markas Tinggi Hizbullah dan Markas Tinggi Sabilillah.

Resolusi Jihad  secara umum berisikan dua kategori dalam berjihad:

"Berperang menolak dan melawan penjajah itu fardu ain [harus dikerjakan tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempuan, anak-anak, bersenjata atau tidak] bagi yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh. Bagi yang berada di luar jarak lingkaran tadi, kewajiban itu jadi fardu kifayah [yang cukup dikerjakan sebagian orang Islam saja]," bunyi dua kategori jihad dari fatwa tersebut.

Sebagai Panglima Hizbullah, Zainul Arifin memimpin pasukan Hizbullah dalam peperangan 4 hari di Surabaya, November 1945. Para kiai yang tergabung dalam Sabilillah juga ikut mengatur jalannya pertempuran dengan kobaran semangat yang menyala-nyala.

Wednesday, November 10, 2021

Kilas Balik Hari Pahlawan Nasional 2019

Kilas Balik 
Pengangkatan KH Masykur Sebagai Pahlawan Nasional

Ario Helmy

Bagi keluarga besar Pahlawan Kemerdekaan Nasional KH Zainul Arifin, pencalonan mitra pejuang dakwah, militer dan politik KH Masykur sebagai Pahlawan Nasional merupakan kabar yang sudah lama dinanti-nantikan. Kiai Masykur bahu membahu dengan Zainul Arifin berjuang lewat laskar santri Hizbullah di mana Arifin merupakan panglimanya dan laskar Kiai Sabilillah di bawah komando Kiai Masykur. Di bidang politik kedua kiai berbagi tugas dengan Kiai Masykur di lembaga eksekutif sebagai Menteri Agama dan Zainul di legislatif bermula sebagai anggota Badan Pekerja KNIP hingga menjadi Ketua DPRGR menjelang akhir hayat.  

LATIHAN PERANG TANAH LIAT

Zainul Arifin dan Kiai Masykur adalah lulusan pelatihan semi militer Hizbullah angkatan pertama di Cibarusah yang berlangsung tiga bulan lamanya awal tahun 1945 diikuti sekira 500 tokoh pemuda santri. Latihannya berdisiplin tinggi dan sangat berat. Yang diulang-ulang ialah latihan perang-perangan dengan senjata dari kayu. Selain itu juga dilatihkan teknik perang gerilya dan pembuatan bom molotov. Dilangsungkan di daerah bertanah liat pelbagai kesulitan medan dan penyakit malah menguatkan fisik dan mental baja para pesertanya. Dibekali semangat Bushido ala Jepang, rasa cinta tanah air dan semangat bela negara menggelora di antara para peserta. Selesai pelatihan angkatan pertama, Zainul Arifin dan Masykur berpisah karena berbagi tugas. Kiai Masykur dan Wahid Hasyim menjadi anggota BPUPKI guna mempersiapkan Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, sedangkan Zainul Arifin selaku Panglima Hizbullah bertugas mengomandani pelatihan spiritual di Mesjid Kauman, Malang. 

Pasukan Santri Hizbullah digembleng kedisiplinan spiritual langsung di bawah Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, Wahab Chasbullah dan kiai-kiai sepuh lainnya. Sementara di BPUPKI persiapannya apabila pemindahan kekuasaan berlangsung damai, pelatihan spiritual Hizbullah di Malang siaga mengantisipasi jika peperangan harus berlangsung demi merebut kemerdekaan yang sudah di depan mata. Begitu tekun dan disiplin pasukan Hizbullah bertekad bulat menyiapkan diri untuk berjihad, sampai-sampai para pesertanya tidak menyadari kalau Proklamasi Kemerdekaan sudah dikumandangkan Sukarno.

Monday, August 9, 2021

KH ZAINUL ARIFIN DAĹAM KATA-KATA (Zaman Pendudukan Jepang)


"Hendaknya NU menyesuaikan diri dengan keadaan zaman serta berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai kemenangan terakhir."

(Dimuat dalam Asia Raja, 15 Juni 1944, p.1)

- Dalam Musyawarah Ulama Jawa Barat dihadiri 600 ulama, 30 Juli 1944:

"Tanah Jawa adalah suatu negeri yang penduduknya sebagian besar terdiri dari umat Islam, sehingga dengan sendirinya kita tidak boleh ketinggalan untuk menyelenggarakan Benteng Perjuangan Jawa. Karena itu, kedudukan kaum ulama bertambah penting. Marilah kita membaharui niat ikut berjuang dalam Benteng Perjuangan Jawa."

(Dimuat dalam Harian Sinar Baroe, 1 Agustus 1944, p.3)

- Dalam Rapat Umum Umat Islam 13 September 1944 di Taman Raden Saleh, Jakarta:

"Soal kemerdekaan dalam Islam bukanlah soal semboyan dan cita-cita saja, tetapi adalah menjadi dasar dari agama. Umat Islam yang mempunyai jiwa yang hidup harus menuntut dan mempertahankan kemerdekaan, kalau perlu dengan jiwa raganya."

(Dimuat dalam Harian Tjahaja, 15 September 1944, p.1)

- Dalam Rapat Masyumi di Banten, 15 Januari 1945:

"Hanya dengan adanya pemuda-pemuda yang berani berjuang saja, keluhuran bangsa dapat tercapai."

(Dimuat dalam Harian Tjahja, 18 Januari 1945, p.2)

- Kantor Berita Domei, 18 Juli 1945, p.1 merilis kutipan Zainul Arifin yang dikumandangkan pada Penutupan Pelatihan Mubaligh NU 28 Juli 1945 di Cirebon diikuti 57 ulama:

"Untuk mendapat sebutir nasipun harus diperjuangkan. Perjuangan Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar dan lain-lainnya membuktikan keteguhan hati pahlawan-pahlawan Islam dalam memperjuangkan kebahagiaan nusa bangsa. Merjan tasbihnya dijadikan pelor untuk menghantam musuh. Siapa berani hidup harus berani mati. Karena mati ditentukan Tuhan."

(Dimuat dalam Sinar Baroe, 1 Agustus 1945)