Total Pageviews

Showing posts with label sejarah. Show all posts
Showing posts with label sejarah. Show all posts

Friday, December 2, 2011

SEJARAH DIA, SEJARAH DIA JUGA


Oleh: Ario Helmy

Bahasa Indonesia ternyata sudah lebih "ramah jender" dibandingkan dengan Bahasa Barat. Tinggal lagi sistem penulisan sejarahnya saja yang masih perlu dibenahi agar tidak menempatkan perempuan di bawah lelaki. Dalam menulis biografi KH ZAINUL ARIFIN, BERDZIKIR MENYIASATI ANGIN, saya berusaha bersetia terhadap prinsip ini. 

KETIGA TUNGGAL 

Dalam Bahasa Nasional kita hanya ada satu sebutan bagi orang ketiga tunggal, dia. Lelaki atau perempuan yang dibicarakan, ya dia. Bandingkan misalnya, dengan Bahasa Inggris yang membebani "he" untuk maskulin dan "she" bagi jender yang sekedar "perhiasan" bagi "he". Lebih jauh lagi, wanita baik-baik dan terhormat julukannya, "lady" dari akar kata "lad" yang bermakna anak lelaki. Jadi dalam sejarah perkembangan berbahasa bangsa-bangsa pengguna bahasa Inggris sesempurnanya perempuan hanya bisa menyamai tingkat kedudukan bocah pria, setengah lelaki dewasa. Yang kemudian menimbulkan keprihatinan di kalangan masyarakat penggunanya ialah kata "history" ternyata dipungut dari tautan kata-kata "his story" atau "kisah dia (lelaki)". Kontan sejak awal abad ke 20, kaum perempuan di Barat menuntut persamaan derajat bukan hanya dalam kehidupan nyata sehari-hari, namun pula di antara halaman-halaman buku sejarah. Sejak saat itupun penulisan sejarah harus senantiasa terkait dengan perempuan. Seorang tokoh sejarah yang ditulis sepak terjang kejuangannya perlu diteliti secara mendalam kehidupan pribadinya, terutama dalam masalah memperlakukan wanita-wanita dalam hidupnya. Juga pandangan-pandangan serta kontribusinya terhadap masalah-masalah perempuan mesti dikaji mendalam. Singkatnya, dia harus bisa menjadi pahlawan bagi komunitasnya tanpa membedakan jenis kelamin dan tidak bisa cuma sekedar "pahlawan di lingkungan kelompok macho-nya" belaka.

PAHLAWAN DAN PEREMPUAN PEREMPUAN 

Motivator Mario Teguh pernah berbagi pandangan bahwa orang-orang berpengaruh dalam sejarah peradaban manusia adalah mereka yang menghormati ibu, istri, anak dan cucu perempuannya. Saya sendiri saat menulis biografi kakek saya benar-benar tidak mengenal sosoknya secara langsung karena baru berusia 6 tahun ketika Kakek wafat. Jadi saya banyak mengandalkan penulisan berdasarkan pengamatan dan interaksi saya pribadi dengan ibu Kakek (buyut saya yang baru meninggal ketika saya beranjak remaja), ketiga istrinya, dan anak-anak perempuannya termasuk ibu saya sendiri. Ditambah lagi dengan keterangan-keterangan dari tokoh-tokoh NU dan Muslimat NU. Saya sempat mengenal dan menyaksikan bagaimana buyut saya, Baiyah Nasution sangat dihormati dalam keluarga besar kami, karena memang dicontohkan sendiri oleh Zainul Arifin di masa hidupnya. Konon begitu dekatnya hubungan Ibu dan Anak di antara keduanya, sampai-sampai ketika Zainul wafat, Buyut meminta sendiri kepada Presiden Sukarno agar anaknya tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, karena dia ingin berkubur di sebelahnya. Tidak kurang dari Jenderal Besar AH Nasution harus ikut membantu Presiden membujuk Baiyah agar mengikhlaskan putranya dikebumikan di Kalibata. Harian Duta Masyarakat edisi 3 Maret 1963 melaporkan, akhirnya Buyut mengalah. Baiyah sendiri yang berpidato mewakili keluarga besar mengucap terima kasih kepada pemerintah senyampang memberikan restunya. Saya juga mengenal ketiga istri Kakek dengan cukup baik, serta pernah berbincang-bincang dengan mereka. Namun, mengenai bagaimana Kakek bersikap adil terhadap istri-istrinya justru saya dengar dari Bapak Hamid Baidlowi (Allah yarham), menantu KH Wahid Hasyim yang juga sahabat dekat keluarga Arifin dan dari Ibu Asmach Syachruni, mantan Ketua Muslimat NU. Ibu Asmach juga banyak berkesan mengenai bagaimana Zainul Arifin menaruh perhatian besar terhadap badan-badan Muslimat NU dan para anggotanya. Dari ibu kandung saya sendiri, satu dari delapan anak perempuan Kakek saya diceritakan bagaimana Zainul Arifin tidak membedakan pendidikan antara anak lelaki dan anak perempuan. Dia juga menanamkan perlunya menuntut ilmu hingga akhir hayat. Ibu memang pembelajar sejati. Dia pernah menjadi satu-satunya pejabat perempuan yang dikirim ke kantor perwakilan BUMN tempatnya bekerja ke luar negeri selama lima tahun. 

Setelah menimbang dan memperhatikan terpenuhi semua syarat penulisan "ramah jender" atas hikayat KH Zainul Arifin, sayapun meniatkan biografi tersebut dengan seizin Allah SWT terselesaikan bertepatan dengan peringatan Seabad KH Zainul Arifin tahun 2009 silam. Sesungguhnya, Dia Maha Mendengar dan Mengabulkan doa.

Wednesday, June 11, 2008

Entry on Wikipedia


Kiai Haji Zainul Arifin, politisi Nahdlatul Ulama (NU) terkemuka yang sejak remaja di zaman penjajahan Belanda sudah aktif dalam organisasi kepemudaan NU, GP Ansor, jabatan terakhirnya ialah ketua DPRGR sejak 1960 hingga wafatnya 2 Maret 1963.

Arifin lahir di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara pada 2 September 1909 sebagai anak tunggal raja Barus, Sultan Ramali bin Sultan Sahi Alam Pohan dengan perempuan bangsawan asal Kotanopan, Mandailing, Siti Baiyah boru Nasution.

Ketika Zainul masih balita kedua orangtuanya bercerai dan ia dibawa pindah oleh ibunya ke Kotanopan, kemudian ke Kerinci, Jambi. Di sana ia menyelesaikan HIS dan sekolah menengah calon guru, Kweekschool. Dalam usia 16 tahun Zainul merantau ke Batavia (Jakarta) dan bekerja di dinas pengairan pemerintah kotapraja (gemeente). Di kota ini ia juga sempat menjadi guru sekolah di daerah-daerah Jatinegara dan Bukit Duri Tanjakan. Selain itu Arifin pernah pula menjalani profesi pokrol bambu, pengacara bumiputra yang tidak memerlukan pendidikan hukum formal.

Tahun 1930-an ia mulai bergabung dengan Gerakan Pemuda Ansor dan beberapa tahun kemudian sudah aktif di organisasi induk NU, sebagai ketua Majelis Konsul NU Jakarta hingga datangnya tentara Jepang. Selama era pendudukan militer Jepang, Zainul Arifin ikut mewakili NU dalam kepengurusan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dan terlibat dalam pembentukan pasukan semi militer Hizbullah. Hingga menjelang penyerahan kedaulatan pada 1949 Zainul memimpin pasukan tempur golongan Islam tersebut bergerilya di pelosok-pelosok Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ketika Tentara Nasional Indonesia (TNI) akhirnya menyatukan seluruh kekuatan militer Indonesia ia sempat diangkat sebagai sekertaris pucuk pimpinan TNI sebelum akhirnya mengundurkan diri dari dinas ketentaraaan untuk berkonsentrasi di jalur politik sipil.

Sejak proklamasi kemerdekaan Zainul Arifin langsung duduk dalam Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), cikal bakal lembaga legislatif MPR/DPR. Hingga akhir hayatnya Arifin aktif di parlemen mewakili partai Masyumi dan kemudian partai NU setelah NU keluar dari Masyumi pada 1952. Hanya selama 1953-1955 ketika menjabat sebagai wakil perdana menteri dalam kabinet Ali-Arifin (Kabinet Ali Sastroamijoyo I) Zainul terlibat dalam badan eksekutif. Kabinet di era Demokrasi Parlementer ini sukses menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955.

Pemilu pertama 1955 mengantar Zainul Arifin sebagai anggota Majelis Konstituante sekaligus wakil ketua DPR sampai kedua lembaga dibubarkan Sukarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.Memasuki era Demokrasi Terpimpin itu, Arifin bersedia mengetuai DPR Gotong Royong (DPRGR) sebagai upaya partai NU membendung kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) di parlemen. Ditengah meningkatnya suhu politik, pada 14 Mei 1962, saat salat Idul Adha di barisan terdepan bersama Sukarno, Zainul tertembak peluru yang diarahkan seorang pemberontak dalam percobaannya membunuh presiden. Zainul Arifin akhirnya wafat 2 Maret 1963 setelah menderita luka bekas tembakan dibahunya selama sepuluh bulan.