Total Pageviews

Showing posts with label Majelis Islam A'la Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Majelis Islam A'la Indonesia. Show all posts

Wednesday, February 2, 2022

KH ZAINUL ARIFIN:MEMBELA ISLAM LEWAT MIAI



Menyongsong Haul KH Zainul Arifin ke 58 (2Maret 2021)

Oleh Ario Helmy

"Pernah ada serangan penghinaan terhadap Alquran dan Kanjeng Nabi Muhammad. Artikel yang ditulis Siti Sumandari di majalah Bangun yang menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai ‘pencemburu’, karenanya peraturan perkawinan dalam Islam dimaksudkan hanya untuk membenarkan ‘nafsu nabi’. Ini tuduhan jahat sekali,” ungkap sejarawan NU Choirul Anam kepada Duta.co.id

Cak Anam menambahkan, karena penghinaan itu berlanjut dan seperti dilindungi pemerintah Hindia Belanda, maka federasi organisasi Islam Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) membentuk Komisi Pemberantasan Penghinaan Islam, terdiri dari para tokoh Islam dari berbagai organisasi. Ada Kiai Zainul  Arifin (NU) sebagai ketuanya, Syahbudin Latif (PSII), Mr Kasman Singodimejo (MD), Wiwoho (PII), Moh Natsir (Persis). Mereka ini bersatu padu menghadapi penghina Islam hingga tuntas permasalahannya karena seluruh umat Islam merasa tersakiti.

Selain itu, Mansur Surya dalam bukunya Api Sejarah 2: Peran Ulama Dalam Membangun Organisasi Militer Modern, juga mengungkap bagaimana penjajah Belanda dalam upaya "devide et impera" nya berusaha membenturkan kaum priyayi pendukung mereka dengan umat Islam lewat antara lain tulisan-tulisan Dr. Soetomo dan Residen Bandung R.A.A Wiranata Kusumah yang juga menghina kehidupan Rasulullah. Untungnya perpecahan di kalangan umat Islam tidak sampai terjadi, malahan umat semakin bersatu melawan "musuh bersama" yaitu penjajah Belanda. 

BERSATU MELAWAN PENJAJAH

Berawal dari pidato KH Hasyim Asy’ari pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin 1936, yang menyerukan agar umat Islam dan khususnya warga NU mengenyampingkan pertikaian, membuang perasaan ta’ashub (fanatik) golongan dan aliran dalam berpendapat, menghilangkan cacian dan celaan sesama umat Islam serta menegakkan persatuan dan kesatuan, disusul dengan undangan NU bagi organisasi-organisasi Islam yang berada di luar mereka agar menghadiri Kongres NU ke-12 di Malang bulan Juni 1937 tekad untuk mendirikan lembaga persatuan Islam semakin menguat. Didirikanlah Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) pada Selasa Wage, 15 Rajab 1356 atau 21 September 1937 atas prakarsa KH Hasyim Asy'ari. Beberapa ormas Islam menyatakan bergabung ke dalam MIAI: NU, Muhammadiyah, Al Irsyad, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Al Khoiriyah, Persyarikatan Ulama Indonesia (PUI), Al Hidayatul Islamiyah, Persatuan Islam (Persis), Partai Islam Indonesia (PII), Partai Arab Indonesia (PAI), Jong Islamiaten Bond, Al Ittihadiyatul Islamiyah dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Pada awalnya MIAI hanya menjadi koordinator untuk berbagai kegiatan, tetapi kemudian berkembang menjadi wadah yang mempersatukan para umat Islam tanah air untuk kompak menghadapi politik Belanda yang memecah belah para ulama dan partai Islam. Pada periode 1939 – 1945 para ulama benar-benar bersatu padu dalam satu majelis.

Saat api persatuan sedang berkobar-kobar, muncul tantangan dari Partai Indonesia Raya (Parindra) lewat dua artikel yang melecehkan Islam dipublikasi majalah Bangun dalam dua edisi, bertanggal 15 Oktober dan 1 November 1937. Artikel-artikel yang ditulis Siti Soemandari itu mendukung rancangan undang-undang perkawinan pemerintah kolonial seraya menghina Rasulullah SAW serta peraturan perkawinan dalam hukum Islam. Ia menulis Nabi Muhammad SAW sebagai orang yang cemburuan dan menganggap banyak bagian dari hukum perkawinan Islam ditujukan untuk membenarkan “nafsu” Nabi. Menurut seorang penulis bernama Wibisono, artikel itu bermaksud melenyapkan keshalihan Nabi dan hendak menyatakan bahwa poligami itu kuno. Belakangan rancangan undang-undang itu dibatalkan karena kerasnya protes umat Islam.

Saturday, August 14, 2021

KH ZAINUL ARIFIN & NAHDLATUL ULAMA(2)

KH ZAINUL ARIFIN & NAHDLATUL ULAMA
(2)

Oleh: Ario Helmy

"Dengan kepemimpinan KH Zainul Arifin yang piawai dalam mengelola forum sehingga sidang menjadi sangat efektif dan produktif menghasilkan beberapa keputusan penting mulai masalah pokitik, pengembangan ekonomi riil dan perbankan, serta penentuan pakaian khas bagi Muslimat NU." (DZ: p.52).

MAJELIS KONSUL DAN MIAI

Setelah Muktamar ke 13 di Menes berlangsung sukses, kedudukan KH Zainul Arifin meningkat pesat. Sebentar saja Arifin sudah diamanahi sebagai Ketua Majelis Konsul Batavia yang membawahkan semua Pengurus Cabang NU di kawasan Batavia. Namanya semakin kondang di kalangan kiai-kiai NU di Betawi dan Jawa Barat. Sedangkan PBNU memberinya tugas yang semakin menantang pula. Zainul ditugasi ikut mewakili NU di MIAI, Majelis Islam A'la Indonesia, sebuah federasi ormas Islam di seluruh Hindia Belanda.

MIAI didirikan atas inisiatif NU dan Muhammadiyah sebagai reaksi atas campur tangan pemerintah kolonial yang terlalu jauh terhadap syariat Islam. Kebijakan Belanda membentuk Undang-Undang perkawinan pada tahun 1937, misalnya, dipandang bertentangan dengan syariat islam, sehingga Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah berreaksi dengan mendirikan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada 21 September 1937 di Surabaya dengan melibatkan 13 ormas Islam. Federasi yang diketuai KH Wahid Hasyim ini sempat berkiprah di bidang politik di penghujung penjajahan Belanda. MIAI pernah berkongres tiga kali dimana KH Zainul Arifin ikut berperan di dalamnya sebagai wakil NU, sebelum akhirnya federasi ini dibekukan sementara senyampang masuknya Jepang ke Hindia Belanda pada 1942.

TIGA KONGRES MIAI

Kongres MIAI disebut juga Kongres Al-Islam pertama dilaksanakan 26 Februari-1 Maret 1938 di Surabaya. Dalam kongres perdananya  ini selain dibahas Undang-Undang Perkawinan yang diajukan pemerintah, juga disidangkan antara lain: soal hak waris umat Islam, raad agama, permulaan bulan puasa, dan perbaikan perjalanan haji.

Dalam Kongres MIAI II dikaji ulang UU Perkawinan secara lebih mendalam ditambah dengan tanggapan atas terbitnya artikel dalam suatu media massa yang dianggap menghina Islam. Untuk itu dibentuk Komisi Pembelaan dimana Zainul Arifin ikut duduk di dalamnya. Berpengalaman sebagai pengacara Pokrol Bambu, Arifin dipandang layak terlibat dalam komisi ini. 

Kongres terakhir Al-Islam MIAI ketiga digelar di Solo 7-8 Juli 1941. Beberapa materi diantaranya: peningkatan layanan perjalanan haji, tempat shalat di Kereta Api, penerbangan