Total Pageviews

Showing posts with label presiden soekarno. Show all posts
Showing posts with label presiden soekarno. Show all posts

Thursday, August 26, 2021

‌ANTARA WASHINGTON DC DAN LENINGRAD (2 - HABIS)‌

Oleh: Ario Helmy
‌"Saya sempat bertemu putra Mufti Masjid Biru di Saint Petersburg yang bapaknya pernah menerima Presiden Sukarno dan Angku KH Zainul Arifin tahun 1956. Kami dari KBRI Moskow, menemui Mufti Zhafar Ponchaev dalam rangka Peringatan 70 tahun Persahabatan Indonesia - Rusia tahun 2020 ini," Tutur Fauzi Butami, cucu kemenakan KH Zainul Arifin yang bulan ini baru saja berakhir penugasannya sebagai staff Konsul Keamanan KBRI Moskow. Kunjungan kenegaraan pertama Presiden RI ke Russia tahun 1956 memang menorehkan sejarah tersendiri bagi hubungan kedua negara.
‌SUDAH 70 TAHUN
‌"Sebenarnya NU masih keberatan waktu pemerintah Kabinet Ali - Arifin mau membuka hubungan diplomatik tingkat kedutaan dengan negara komunis Rusia. KH Zainul Arifin mendapat banyak pertanyaan dalam Muktamar ke 20 tahun 1954 itu," ungkap Asmach Syahruni ketua Muslimat NU terlama saat memberikan kesan dan kenangan tentang Zainul Arifin pada tahun 2009.
‌Meskipun hubungan diplomatik dengan Rusia sudah dimulai sejak 1950 dengan pengakuan Negeri Beruang Merah itu atas Proklamasi Kemerdekaan RI, namun fomalisasi diplomatik dengan membuka kedutaan masing-masing di Jakarta dan Moskow baru dirintis sejak Kabinet Ali 1 mulai memerintah pada 1953. Baru tahun 1954 kedua negara secara bertahap membuka kedutaan besar masing-masing di Moskow dan Jakarta.
‌Setahun setelah pelaksanaan Konferensi Asia Afrika Bandung 1955, dirancanglah perjalanan kenegaraan Presiden Sukarno ke negara-negara blok Barat dan blok Timur. Di Rusia, rombongan berkunjung dari 28 Agustus hingga 12 September 1956. Sebagaimana sambutan terhadap Presiden Sukarno di AS, di Uni Sovietpun rombongan kenegaraan diterima dengan hangat oleh pemerintah setempat.
‌BERTANDANG KE MASJID GUDANG
‌Kunjungan panjang kenegaraan rombongan Presiden Sukarno dimulai dari Moskow, dimana rombongan disambut oleh PM Nikita Kruschev. Selanjutnya, rombongan dijamu berkunjung ke kota pelabuhan bersejarah di pinggir Laut Baltik, St. Petersburg atau kala itu sering juga disebut Leningrad. St. Petersburg atau Leningrad merupakan kota dibangun oleh Peter the Great, atau raja Peter I pada abad 17. Kota ini juga disebut Leningrad karena Lenin memang dilahirkan di sini. Lanskap kotanya tidak beda dengan kota-kota besar di Eropa Barat, seperti Amsterdam, Berlin ataupun London. Letaknya di pinggiran Sungai Neva dan ratusan kanal di dalamnya menjadikan kota ini sebagai Venesia Rusia. St. Petersburg pernah menjadi ibukota Kekaisaran Rusia selama 200 tahun. 
‌Di dekat bantaran Sungai Neva terdapat sebuah masjid yang kubahnya berwana biru. Tatkala pelancong ikut cruise kapal menyusuri Sungai Neva, menaranya yang menjulang terlihat dengan jelas.
‌Ketika melintas di Masjid Biru itulah Sukarno ingin mampir ketika diberitahu bahwa bangunan yang diduganya sebagai masjid ternyata memang sebuah rumah ibadah kaum Muslim yang sudah tua. Pihak protokoler tidak dapat memenuhi permintaan Sukarno dengan alasan jadwal yang sangat padat. Presiden tidak berputus asa. Ketika kembali ke Moskow, Sukarno meminta sendiri kepada Kruschev untuk diizinkan memasuki dan melihat dari lebih dekat bangunan mesjid yang rupanya sudah diubah menjadi sebuah gudang sejak Perang Dunia II itu. Nikita Krushchev kemudian memerintahkan agar bangunan dibersihkan dan Imam Mesjid ditugasi untuk menerima rombongan Presiden Indonesia.
‌Sempat melaksanakan sholat di Masjid Biru, Sukarno dan Zainul Arifin dalam pertemuan dengan Imam Masjid Ponchaev, mendapat penjelasan mengenai sejarah mesjid yang nama resminya adalah Jam'ul Muslimin. 
‌Masjid tersebut mulai dibangun tahun 1910. Ketika dibangun, umat Islam di Rusia berjumlah hanya 8.000 orang. Pembangunan masjid dilakukan setelah dibentuk komite khusus tahun 1906 diketuai Ahun Ataulla Bayazitov. Penyumbang terbesar tercatat Said Abdoul Ahad Amir Buharskiy yang membiayai semua pekerjaan pembangunan masjid.
‌Pembangunannya memakan waktu sampai sebelas tahun. Saat diresmikan penggunaannya pada 1921, mesjid yang diarsiteki oleh dua orang nasrani bernama Vaslilier dan Alexander Von Googen ini tampak mirip dengan sebuah masjid di Samarkand, Asia Tengah.
‌Dua menaranya menjulang setinggi 48 meter sedangkan kubahnya yang dibalut keramik warna biru sangat megah dengan ketinggian 39 meter.
‌PIJAR ISLAM DI TANAH KOMUNIS
‌Usai mengunjungi masjid, Sukarno lagi-lagi berdiplomasi ke pemerintah Uni Soviet untuk membuka kembali Masjid Jam'ul Muslimin dan umat Muslim Uni Soviet diizinkan beribadah di dalam Masjid Raya mereka tersebut. Peristiwa ini dicatat oleh sejarah umat muslim Rusia hingga kini. Ketika diwawancara oleh media masa AS mengenai keadaan penduduk muslim Uni Soviet. sebagai tokoh Islam Indonesia Zainul Arifin menjawab dalam bahasa Inggris:
‌"Here the Moslem religion resembles a lamp in which the light has almost died out and the oil has not been renewed."
‌(Di sini agama Islam seperti lampu minyak hampir padam yang minyaknya belum diganti).
‌Dibukanya kembali Masjid Biru sebagai pusat kegiatan umat muslim Uni Sovietpun bagaikan minyak baru penerang pelita Islam.
‌Mesjid Biru pernah hampir rubuh pada tahun 1980 karena dimakan usia dan perhatian pemerintah sangat berkurang. Hingga akhirnya seorang dermawan menyumbang biaya pemugaran besar-besaran masjid membuat pemerintah Rusiapun tergerak untuk ikut ambil bagian. 
‌Kini ketika memasuki mesjid, selepas melewati ruang penerimaan, kita akan langsung masuk ke dalam masjid lantai pertama yang mampu menampung lebih dari dua ribuan jamaah. Kubah yang dari luar berwana biru, didalamnya terdapat ukiran dan lukisan yang terpengaruh oleh budaya Arab dan menggantung di tengah-tengahnya lampu bulat besar bertatahkan kaligrafi buatan Rusia dengan berat lebih dari 2 ton.
‌MASJID KEBANGGAAN RUSIA
‌Dari kejauhan terlihat mihrab megah berwarna biru terbuat dari ribuan marmer berdesain khusus. Di tengah-tengahnya tergambar siluet berupa kaligrafi berisi firman Allah SWT tentang kebaikan dan kebijakan yang harus dianut oleh manusia. Di sampingnya, terdapat mimbar khutbah dengan tangganya yang tinggi terbuat dari kayu yang sangat terawat. Pada saat khatib naik mimbar, ia akan memegang tongkat sebagai pengganti tombak pada jaman para sahabat nabi. 
‌Lantai dua dan tiga dipakai untuk shalat jamaah wanita, sehingga tidak perlu sekat seperti yang ada di beberapa masjid. Uniknya, untuk bisa mengikuti shalat berjamaah, para wanita hanya bisa melihat ke imam melalui dua cendera yang telah disiapkan. Melihat modelnya, jendela ini pastilah model jendela Mesir. 
‌Pilar-pilar besar penyangga kubah dan lantai dua dan tiga dihiasi dengan aneka lukisan bunga mirip budaya Rusia bagian Selatan. Ada juga kaligrafi terbuat dari kayu berukuran sekitar satu kali dua meter yang terpajang di samping ruang imam sholat. Tembakan dua lampu dari samping dan atas memberikan nuansa tersendiri atas tatahan indah surah al-Fatihah yang berada di tengah-tengah ukiran model Bali hadiah dari Presiden Megawati Soekarnoputri, serta ada satu lukisan kaligrafi lagi dari mantan Wapres Jusuf Kalla.




Tuesday, August 24, 2021

ANTARA WASHINGTON DC DAN LENINGRAD (1)

Oleh: Ario Helmy

Menyongsong peringatan hari lahir KH Zainul Arifin ke 111 pada 2 September 2020 yad, saya ingin mengulas beberapa catatan saya mengenai perjalanan kenegaraan bersama Presiden Sukarno yang diikuti Zainul Arifin. Dalam dua bagian saya memusatkan perhatian pada fragmen riwayat perjalanan langlang buana yang mengambil tempat pada dua buah masjid yang masing-masing Masjid Islamic Center di Washington DC, Amerika Serikat dan Masjid Biru di St. Petersburg, Uni Soviet (sekarang Rusia).

JEMBATAN PERSAHABATAN

Sukses menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955, Presiden mulai merencanakan perjalanan keliling dunia guna menggaungkan semangat persahabatan antarbangsa senyampang merajut upaya-upaya memperkenalkan sistem politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif serta non-blok di tengah berlangsungnya perang dingin antara blok Barat dan blok Timur. Lawatan ke mancanegara tersebut dikemas dalam misi "Membangun Jembatan Persahabatan Antar Bangsa".

Setelah melawat ke beberapa negara di Asia dan mengakhirinya dengan kunjungan kenegaraan ke Mesir dan Kerajaan Arab Saudi yang dilangsungkan bersamaan dengan melaksanakan ibadah haji pada 1955, tahun berikutnya, giliran AS, Canada dan Eropa Barat yang disambangi rombongan kenegaraan Presiden selama Mei-Juli 1956.

Di AS rombongan menghabiskan hingga 18 hari dengan jadwal padat meliputi perjalanan "coast to coast" ke banyak negara bagian AS. Salah satu tempat singgah di hari pertama berupa kunjungan ke Islamic Center di Washington DC, dimana dalam perjalanan memenuhi undangan makan siang kenegaraan di Gedung Putih, Sukarno dan rombongan menyempatkan melakukan sholat sunah Masjid dan Dhuha. Peristiwa ini diliput dengan baik oleh majalah terkemuka AS, LIFE, berupa "photo story" kegiatan tetamu negara dari mulai masuk hingga meninggalkan masjid.

KUNJUNGAN DADAKAN

Saya sendiri berkesempatan mengunjungi Islamic Center yang beralamat di 2551 Massachussets Avenue, Washington DC itu pada akhir Agustus 1983, ketika Ibu dinas di Bank Dunia di Washington DC dan New York City. Karena sedang liburan kuliah, saya diminta untuk menemani. Waktu itu memang kami tinggal di Houston, Texas, karena Ibu sedang ditempatkan di Kantor Perwakilan PT Pupuk Sriwijaya (PUSRI) di sana. 

Buat saya yang baru pertama kali ke sana, ibu kota ini terasa begitu kecil dan membosankan. Bangunan-bangunannya kebanyakan kantor-kantor pemerintah yang tingginya tidak ada yang melampaui Monumen Washington di pusat kota dengan ketinggian sekira 13 lantai saja. Di sana kami menginap di Hotel Embassy Row, terletak persis berseberangan dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Amerika Serikat. Setiap kali dinas ke Washington Ibu selalu menginap di hotel ini.

Karena kami harus berpisah, di hari pertama Ibu mesti ke Bank Dunia, sedang saya tidak ada rencana kemana-kemana, Ibu menyarankan (sekalian membukukan) saya untuk mengikuti Tour Keliling Kota Washington. Tujuan tur meliputi: Gedung Putih, monumen-monumen ini dan itu, serta museum-museum aneka rupa. Ibu juga menentukan titik perpisahan kami di Islamic Center di ujung jalan sekira 5 menit dari tempat kami menginap. Dari situ Ibu bakal naik taksi ke Bank Dunia sedang saya akan dijemput Bis Turis.

DUTA BESAR MENINGGAL

Sejarahnya, ide pembangunan Masjid Islamic Center Washington bermula ketika Duta Besar Turki Muenir Urteguen wafat pada 1944 tanpa adanya mesjid yang memadai untuk menyembahyangkan jenazahnya. Duta Besar Mesir kala itu, Muhammad Isa Abu Al-Hawa kemudian membahas rencana pembangunan mesjid untuk kaum Muslim di kawasan Washington DC. Usulnya itu segera mendapat tanggapan positif kalangan diplomat negara-negara Islam dan masyarakat umum Muslim AS.

Tanahnya dibeli pada 30 April 1946, sedangkan peletakan batu pertamanya berlangsung pada 11 Januari 1949. Masjid bermenara setinggi 50m yang diarsiteki seorang non-muslim Prof. Mario Rossi dari Italia itu sudah dapat mulai digunakan sejak 1954. Jadi ketika rombongan Presiden Sukarno di awal musim panas, bulan Mei 1956 mampir untuk beribadah di sana, mesjid ini masih belum rampung benar. Mesjid baru diresmikan sendiri oleh Presiden Eisenhower pada 28 Juni 1957.

MESJID SETENGAH JADI

Dari foto-foto yang dimuat dalam majalah LIFE tahun 1956 mengenai kegiatan Sukarno beserta rombongan melaksanakan sholat di Islamic Center dapat dilihat kalau bangunan belum seluruhnya selesai. Lampu kristal dan pilar-pilar mesjid belum lagi dipasang. Begitu pula dengan dinding keramik serta tulisan-tulisan kaligrafi sumbangan pemerintah Turki. Dari foto-foto itu juga dapat disimpulkan rombongan melakukan sholat sunat mesjid dan Dhuha, karena tidak satupun foto menujukkan kegiatan sholat berjamaah. Selain itu, juga tampak jelas kalau anggota rombongan "entourage" Presiden tidak terlalu besar jumlahnya. Tidak sampai 20 orang, sudah termasuk ajudan-ajudan dan para pengawal.

Kamera begitu jeli merekam setiap gerakan Sukarno dari sejak melepas sepatu hendak memasuki area mesjid hingga foto bersama para pejabat kedua negara di akhir kunjungan di Islamic Center. Tampak dalam foto tampak beberapa pejabat tinggi AS ikut mengantar rombongan ke Masjid, termasuk diantaranya Henry Kissinger yang kelak menjadi menteri luar negeri AS dibawah Presiden Richard Nixon dan Presiden Gerald Ford. Meski pembicaraan bilateral yang berlangsung anrara Sukarno dan Eisenhower berlangsung kurang bersahabat, namun agaknya penampilan foto-foto itu membuktikan bahwa Sukarno adalah seorang kepala negara mayoritas Muslim yang memang lebih suka memilih menjadi Non-Blok. Sedangkan kepada Zainul Arifin dalam kapasitasnya sebagai anggota parlemen dari partai Islam pemerintah Eisenhower menganugerahi bintang kehormatan.

Sunday, July 25, 2021

Mas Anam dan Tulisan tentang KH Zainul Arifin


Oleh: Abdullah Zuma

Selama saya dibimbing menulis oleh Mas A Khoirul Anam, tak pernah sama sekali mendapat apresiasi yang bagus. Lebih sering koreksi dan omelan. 

Omelannya memang dengan suara rendah. Tapi intonasi dan pilihan katanya menunjukkan dia editor ketat. Jangankan tulisan berlogika kacau, beberapa salah ketik pun, saya harus memperbaikinya. 

Mas Anam hanya sekali mengapresiasi tulisan saya. Hanya sekali dan tak akan pernah lagi. Itu pun bukan karena cara menulis yang apik, tapi lebih karena mengungkap tertembaknya KH Zainul Arifin pada peristiwa Idul Adha berdarah tahun 1962.

Waktu itu, sumber bacaan saya adalah buku "Berzikir Menyiasati Angin" karya Ario Helmy, cucu KH Zainul Arifin. 

Tulisan itu dimuat NU Online pada 2016. Saya muat ulang di NU Jabar Online tahun ini.